PERKEMBANGAN
DAN OBJEK STUDI SOSIOLOGI OLAHRAGA
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli Lutan
Sosiologi
olahraga (sport sociology) merupakan sebuah subdisiplin ilmu keolahragaan yang
masih muda usianya, mulai tumbuh sekitar tahun 1950-an, dan mulai berkembang
pada tahun 1960-an sebagai sebuah disiplin ilmu yang makin popular. Di
Indonesia, subdisiplin ilmu keolahragaan ini baru mulai menjadi perhatian,
dalam lingkup terbatas, kedalam kurikulum lembaga pedidikan tinggi di bidang
keolahragaan pada awal 1980-an. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih sangat
muda, pendekatan dalam pengembangan batang tubuh keilmuannyapun masih dalam
fase embrio. Karena itu, pendekatan fenomenologis atau ethnografis yang sering
juga disebut pendekatan naturalistic menjadi rujukan utama.
Kedudukan Sosiologi Olahraga
Di
antara ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan yang dianggap telah mapan
perkembangannya, sosiologi olahraga termasuk kedalamnya. Ke-7 subdisiplin ilmu
keolahragaan itu meliputi sport medicine, sport biomechanics, sport psychology,
sport sociologi, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Sosiologi
olahraga mula-mula tumbuh dengan meminjam konsep sosiologi. Cangkokan konsep
dari “disiplin induknya” itu kemudian berkembang dengan memanfaatkan “bahan
mentah” dari pengalaman secara empirik mengenai aktivitas olahraga yang
dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.
Masalah
yang dibahas di sekitar isu olahraga dalam kaitannya dengan system
Sosial-budaya, analisis olahraga sebagai sebuah system sosial dengan struktur
yang ada di dalamnya, seperti faktor usia, norma dan nilai, pranata sosial
(keluarga, sekolah, komunikasi massa, ekonomi), olahraga dan agama, isu waktu
senggang, peranan kelompok minoritas, pendidikan jasmani dan olahraga dalam
konteks budaya majemuk, kenakalan remaja dan olahraga. Masalahnya mencakup isu
makro seperti gerakan olympiade, kedudukan olahraga dalam pembangunan nasional,
gerakan olahraga massal (sport for all), olahraga dan wanita, olahraga dan
kekerasan, olahraga dan lingkungan hidup, kelembagaan dan nilai-nilai olahraga,
olahraga dan kepahlawanan, aktor penonton, dan tema besar lainnya. Isu mikro
kelembagaan olahraga dibahas tema seperti olahraga dan kekompakan, dinamika
kelompok (kelompok kecil), budaya organisasi, dan tema lainnya dalam konteks
kinerja organisasi dan anggotanya.
Fungsi Sosial Olahraga
Kerangka
berfikir untuk menelaah fenomena sosial olahraga yang dikembangkan Nixon dan
Stevenson sekitar 25 tahun yang lalu relevan untuk dibahas kembali. Kerangka
berfikir ini memandang olahraga sebagai sebuah pranata sosial yang mengandung
potensi untuk menjalankan beberapa fungsi yaitu fungsi sosial emosional, fungsi
sosialisasi, fungsi integrative, fungsi politik, dan fungsi mobilitas sosial.
Beberapa fungsi tersebut dapat disebut sebagai fungsi instrumental olahraga
yang berpangkalan pada partisipasi dalam kegiatan itu.
Fungsi Instrumental
Survai
yang dilaksanakan Prof. Lutan bersama-sama dengan rekan-rekan di FPOK IKIP
Bandung, beberapa waktu yang lalu dengan sampel cukup besar (11.195 wanita dan
576 pria) yang terdiri atas anggota perkumpulan yang rajin berlatih senam atau
aerobic, hasilnya cenderung mendukung kesahihan fungsi sosio-emosional olahraga
yang berpangkal pada citra peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani,
disamping keuntungan yang bersifat psiko-sosial seperti kian mampu
mengendalikan diri, mengatasi setress, dan memusatkan perhatian, tidur kiat
nyenyak, dan relasi sosial makin bertambah.
Proses
sosialisasi dalam kerangka pendidikan via gerak insane itu pada dasarnya adalah
proses pembelajaran keterampilan, sifat-sifat, nilai, sikap, norma dan
pengetahuan yang dikaitkan dengan perilaku yang ada pada saat sekarang atau
yang di antisipasi sesuai dengan peranan sosial (De Knop, 1996). Dua mekanisme
yang berkaitan dalam fungsi sosialisasi yaitu adanya aspek pengukuh dan
peniruan tokoh idola sebagai model. Ide tentang peranan unsur pengukuh, seperti
kita tahu, merupakan penerapan dari teori operant conditioning dari aliran
serba laku (behaviorisme), yakni adanya sanksi terhadap kepercayaan dan
perilaku, baik positif maupun negative.
Fungsi
integrasi olahraga berarti bahwa melalui olahraga dapat dicapai integrasi yang
harmonis antara individu yang tadinya terpisah, teralienasi, atau terbuang dari
lingkungannya. Melalui kegiatan berolahraga, proses identifikasi individu ke
dalam situasi kolektif akan tercapai. Hal ini terjadi melalui dua macam
mekanisme: pertama, melalui perasaan kental sebagai warga komunitas, seperti
halnya terjadi pada sebuah tim kabupaten, tim provinsi, atau tim nasional.
Mekanisme kedua yaitu melalui perasaan sebagai “orang dalam” dan “orang luar”.
Integrasi terjadi karena kebulatan komitmen untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi
politik olahraga merupakan perluasan dari fungsi integrative. Yang tampil
adalah kesadaran sebagai satu negara dan kebanggaan terhadapnya, sehingga
olahraga digunakan untuk menghasilkan identitas nasional dan prestise. Selama
diterapkan paradigm revolusi multi-kompleks, semasa kepemimpinan Bung Karno, fungsi
politik olahraga mencapai puncaknya, dan IOC termasuk Negara barat mengeritik
hal itu sebagai politisasi olahraga. Realisasinya dalam bentuk sanksi atau
penolakan kehadiran suatu Negara, seperti ketika Indonesia menolak mengundang
Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta, dan sebagai akibatnya
Indonesia kena sanksi yaitu tidak diperkenankan ikut dalam Olimpiade 1964 di
Tokyo, Jepang.
Fungsi
mobilitas sosial, terutama dari kalangan minoritas dan atlet yang tadinya
berstatus sosial ekonomi rendah terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama,
peningkatan prestise terkait dengan prestasi; dan kedua prestasi sosial plus
ganjaran ekonomi.
Makna Ekspresi Olahraga
Makna
ekspresif olahraga berpangkal pada pengalaman terlibat dalam kegiatan olahraga
dan seseorang merasa mampu dan cakap. Termasuk di dalamnya adalah perasaan
sukses atau mandiri yang kemudian menghasilkan penilaian diri yang positif yang
diungkapkan dalam istilah self concept atau self esteem (Sachs, 1984; dalam De
Knop,1996).
Melalui
kegiatan olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk menyatakan dirinya atau
melampiaskan ketegangan, seperti dikemukakan dalam fungsi Sosial-emosional di
atas tadi. Hal ini mendukung teori Cartasis (Van der Gogten, 1988; dalam De
Knop, 1996).
Makna Simbolik dari
Olahraga
Simbol
material dan non material, terutama bagi anak muda merupakan actor penting
untuk membentuk identitas pribadi yang selanjutnya penting untuk membentuk self
esteem. Simbol itu penting bagi seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang
lain. Simbol material beraneka ragam seperti gaya potongan rambut, pakaian,
sarana transfortasi, sedangkan symbol non material misalnya ungkapan verbal,
sikap dan minat.
Makna Interaksi Sosial
dari Olahraga
Partisipasi
seseorang dalam olahraga memberikan kesempatan kepadanya untuk berafiliasi
dalam kelompok atau berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Motif
berafiliasi menjadi pendorong utama, terutama di lingkungan masyarakat yang
telah maju dan individu merasakan suasana keterpencilan satu sama lain. Karena
itu olahraga merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi pergaulan yang
luas dan seseorang saling mengenal satu sama lain. Nilai silaturahmi dan
persaudaraan amat kental dalam olahraga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar