Kamis, 17 Januari 2013

Perkembangan dan objek studi sosiologi olahraga


PERKEMBANGAN DAN OBJEK STUDI SOSIOLOGI OLAHRAGA
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli Lutan

Sosiologi olahraga (sport sociology) merupakan sebuah subdisiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya, mulai tumbuh sekitar tahun 1950-an, dan mulai berkembang pada tahun 1960-an sebagai sebuah disiplin ilmu yang makin popular. Di Indonesia, subdisiplin ilmu keolahragaan ini baru mulai menjadi perhatian, dalam lingkup terbatas, kedalam kurikulum lembaga pedidikan tinggi di bidang keolahragaan pada awal 1980-an. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih sangat muda, pendekatan dalam pengembangan batang tubuh keilmuannyapun masih dalam fase embrio. Karena itu, pendekatan fenomenologis atau ethnografis yang sering juga disebut pendekatan naturalistic menjadi rujukan utama.
Kedudukan Sosiologi Olahraga
Di antara ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan yang dianggap telah mapan perkembangannya, sosiologi olahraga termasuk kedalamnya. Ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan itu meliputi sport medicine, sport biomechanics, sport psychology, sport sociologi, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Sosiologi olahraga mula-mula tumbuh dengan meminjam konsep sosiologi. Cangkokan konsep dari “disiplin induknya” itu kemudian berkembang dengan memanfaatkan “bahan mentah” dari pengalaman secara empirik mengenai aktivitas olahraga yang dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.
Masalah yang dibahas di sekitar isu olahraga dalam kaitannya dengan system Sosial-budaya, analisis olahraga sebagai sebuah system sosial dengan struktur yang ada di dalamnya, seperti faktor usia, norma dan nilai, pranata sosial (keluarga, sekolah, komunikasi massa, ekonomi), olahraga dan agama, isu waktu senggang, peranan kelompok minoritas, pendidikan jasmani dan olahraga dalam konteks budaya majemuk, kenakalan remaja dan olahraga. Masalahnya mencakup isu makro seperti gerakan olympiade, kedudukan olahraga dalam pembangunan nasional, gerakan olahraga massal (sport for all), olahraga dan wanita, olahraga dan kekerasan, olahraga dan lingkungan hidup, kelembagaan dan nilai-nilai olahraga, olahraga dan kepahlawanan, aktor penonton, dan tema besar lainnya. Isu mikro kelembagaan olahraga dibahas tema seperti olahraga dan kekompakan, dinamika kelompok (kelompok kecil), budaya organisasi, dan tema lainnya dalam konteks kinerja organisasi dan anggotanya.
Fungsi Sosial Olahraga
Kerangka berfikir untuk menelaah fenomena sosial olahraga yang dikembangkan Nixon dan Stevenson sekitar 25 tahun yang lalu relevan untuk dibahas kembali. Kerangka berfikir ini memandang olahraga sebagai sebuah pranata sosial yang mengandung potensi untuk menjalankan beberapa fungsi yaitu fungsi sosial emosional, fungsi sosialisasi, fungsi integrative, fungsi politik, dan fungsi mobilitas sosial. Beberapa fungsi tersebut dapat disebut sebagai fungsi instrumental olahraga yang berpangkalan pada partisipasi dalam kegiatan itu.
Fungsi Instrumental
Survai yang dilaksanakan Prof. Lutan bersama-sama dengan rekan-rekan di FPOK IKIP Bandung, beberapa waktu yang lalu dengan sampel cukup besar (11.195 wanita dan 576 pria) yang terdiri atas anggota perkumpulan yang rajin berlatih senam atau aerobic, hasilnya cenderung mendukung kesahihan fungsi sosio-emosional olahraga yang berpangkal pada citra peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani, disamping keuntungan yang bersifat psiko-sosial seperti kian mampu mengendalikan diri, mengatasi setress, dan memusatkan perhatian, tidur kiat nyenyak, dan relasi sosial makin bertambah.
Proses sosialisasi dalam kerangka pendidikan via gerak insane itu pada dasarnya adalah proses pembelajaran keterampilan, sifat-sifat, nilai, sikap, norma dan pengetahuan yang dikaitkan dengan perilaku yang ada pada saat sekarang atau yang di antisipasi sesuai dengan peranan sosial (De Knop, 1996). Dua mekanisme yang berkaitan dalam fungsi sosialisasi yaitu adanya aspek pengukuh dan peniruan tokoh idola sebagai model. Ide tentang peranan unsur pengukuh, seperti kita tahu, merupakan penerapan dari teori operant conditioning dari aliran serba laku (behaviorisme), yakni adanya sanksi terhadap kepercayaan dan perilaku, baik positif maupun negative.
Fungsi integrasi olahraga berarti bahwa melalui olahraga dapat dicapai integrasi yang harmonis antara individu yang tadinya terpisah, teralienasi, atau terbuang dari lingkungannya. Melalui kegiatan berolahraga, proses identifikasi individu ke dalam situasi kolektif akan tercapai. Hal ini terjadi melalui dua macam mekanisme: pertama, melalui perasaan kental sebagai warga komunitas, seperti halnya terjadi pada sebuah tim kabupaten, tim provinsi, atau tim nasional. Mekanisme kedua yaitu melalui perasaan sebagai “orang dalam” dan “orang luar”. Integrasi terjadi karena kebulatan komitmen untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi politik olahraga merupakan perluasan dari fungsi integrative. Yang tampil adalah kesadaran sebagai satu negara dan kebanggaan terhadapnya, sehingga olahraga digunakan untuk menghasilkan identitas nasional dan prestise. Selama diterapkan paradigm revolusi multi-kompleks, semasa kepemimpinan Bung Karno, fungsi politik olahraga mencapai puncaknya, dan IOC termasuk Negara barat mengeritik hal itu sebagai politisasi olahraga. Realisasinya dalam bentuk sanksi atau penolakan kehadiran suatu Negara, seperti ketika Indonesia menolak mengundang Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta, dan sebagai akibatnya Indonesia kena sanksi yaitu tidak diperkenankan ikut dalam Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang.
Fungsi mobilitas sosial, terutama dari kalangan minoritas dan atlet yang tadinya berstatus sosial ekonomi rendah terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama, peningkatan prestise terkait dengan prestasi; dan kedua prestasi sosial plus ganjaran ekonomi.
Makna Ekspresi Olahraga
Makna ekspresif olahraga berpangkal pada pengalaman terlibat dalam kegiatan olahraga dan seseorang merasa mampu dan cakap. Termasuk di dalamnya adalah perasaan sukses atau mandiri yang kemudian menghasilkan penilaian diri yang positif yang diungkapkan dalam istilah self concept atau self esteem (Sachs, 1984; dalam De Knop,1996).
Melalui kegiatan olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk menyatakan dirinya atau melampiaskan ketegangan, seperti dikemukakan dalam fungsi Sosial-emosional di atas tadi. Hal ini mendukung teori Cartasis (Van der Gogten, 1988; dalam De Knop, 1996).
Makna Simbolik dari Olahraga
Simbol material dan non material, terutama bagi anak muda merupakan actor penting untuk membentuk identitas pribadi yang selanjutnya penting untuk membentuk self esteem. Simbol itu penting bagi seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang lain. Simbol material beraneka ragam seperti gaya potongan rambut, pakaian, sarana transfortasi, sedangkan symbol non material misalnya ungkapan verbal, sikap dan minat.
Makna Interaksi Sosial dari Olahraga
Partisipasi seseorang dalam olahraga memberikan kesempatan kepadanya untuk berafiliasi dalam kelompok atau berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Motif berafiliasi menjadi pendorong utama, terutama di lingkungan masyarakat yang telah maju dan individu merasakan suasana keterpencilan satu sama lain. Karena itu olahraga merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi pergaulan yang luas dan seseorang saling mengenal satu sama lain. Nilai silaturahmi dan persaudaraan amat kental dalam olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar