Modul
1
PERKEMBANGAN
DAN OBJEK STUDI SOSIOLOGI OLAHRAGA
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli Lutan
Sosiologi
olahraga (sport sociology) merupakan sebuah subdisiplin ilmu keolahragaan yang
masih muda usianya, mulai tumbuh sekitar tahun 1950-an, dan mulai berkembang
pada tahun 1960-an sebagai sebuah disiplin ilmu yang makin popular. Di
Indonesia, subdisiplin ilmu keolahragaan ini baru mulai menjadi perhatian,
dalam lingkup terbatas, kedalam kurikulum lembaga pedidikan tinggi di bidang
keolahragaan pada awal 1980-an. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih sangat
muda, pendekatan dalam pengembangan batang tubuh keilmuannyapun masih dalam
fase embrio. Karena itu, pendekatan fenomenologis atau ethnografis yang sering
juga disebut pendekatan naturalistic menjadi rujukan utama.
Kedudukan Sosiologi Olahraga
Di
antara ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan yang dianggap telah mapan
perkembangannya, sosiologi olahraga termasuk kedalamnya. Ke-7 subdisiplin ilmu
keolahragaan itu meliputi sport medicine, sport biomechanics, sport psychology,
sport sociologi, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Sosiologi
olahraga mula-mula tumbuh dengan meminjam konsep sosiologi. Cangkokan konsep
dari “disiplin induknya” itu kemudian berkembang dengan memanfaatkan “bahan
mentah” dari pengalaman secara empirik mengenai aktivitas olahraga yang
dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.
Masalah
yang dibahas di sekitar isu olahraga dalam kaitannya dengan system
Sosial-budaya, analisis olahraga sebagai sebuah system sosial dengan struktur
yang ada di dalamnya, seperti faktor usia, norma dan nilai, pranata sosial
(keluarga, sekolah, komunikasi massa, ekonomi), olahraga dan agama, isu waktu
senggang, peranan kelompok minoritas, pendidikan jasmani dan olahraga dalam
konteks budaya majemuk, kenakalan remaja dan olahraga. Masalahnya mencakup isu
makro seperti gerakan olympiade, kedudukan olahraga dalam pembangunan nasional,
gerakan olahraga massal (sport for all), olahraga dan wanita, olahraga dan
kekerasan, olahraga dan lingkungan hidup, kelembagaan dan nilai-nilai olahraga,
olahraga dan kepahlawanan, aktor penonton, dan tema besar lainnya. Isu mikro
kelembagaan olahraga dibahas tema seperti olahraga dan kekompakan, dinamika
kelompok (kelompok kecil), budaya organisasi, dan tema lainnya dalam konteks
kinerja organisasi dan anggotanya.
Fungsi
Sosial Olahraga
Kerangka
berfikir untuk menelaah fenomena sosial olahraga yang dikembangkan Nixon dan
Stevenson sekitar 25 tahun yang lalu relevan untuk dibahas kembali. Kerangka
berfikir ini memandang olahraga sebagai sebuah pranata sosial yang mengandung
potensi untuk menjalankan beberapa fungsi yaitu fungsi sosial emosional, fungsi
sosialisasi, fungsi integrative, fungsi politik, dan fungsi mobilitas sosial.
Beberapa fungsi tersebut dapat disebut sebagai fungsi instrumental olahraga
yang berpangkalan pada partisipasi dalam kegiatan itu.
Fungsi
Instrumental
Survai
yang dilaksanakan Prof. Lutan bersama-sama dengan rekan-rekan di FPOK IKIP
Bandung, beberapa waktu yang lalu dengan sampel cukup besar (11.195 wanita dan
576 pria) yang terdiri atas anggota perkumpulan yang rajin berlatih senam atau
aerobic, hasilnya cenderung mendukung kesahihan fungsi sosio-emosional olahraga
yang berpangkal pada citra peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani,
disamping keuntungan yang bersifat psiko-sosial seperti kian mampu
mengendalikan diri, mengatasi setress, dan memusatkan perhatian, tidur kiat
nyenyak, dan relasi sosial makin bertambah.
Proses
sosialisasi dalam kerangka pendidikan via gerak insane itu pada dasarnya adalah
proses pembelajaran keterampilan, sifat-sifat, nilai, sikap, norma dan
pengetahuan yang dikaitkan dengan perilaku yang ada pada saat sekarang atau
yang di antisipasi sesuai dengan peranan sosial (De Knop, 1996). Dua mekanisme
yang berkaitan dalam fungsi sosialisasi yaitu adanya aspek pengukuh dan
peniruan tokoh idola sebagai model. Ide tentang peranan unsur pengukuh, seperti
kita tahu, merupakan penerapan dari teori operant conditioning dari aliran
serba laku (behaviorisme), yakni adanya sanksi terhadap kepercayaan dan
perilaku, baik positif maupun negative.
Fungsi
integrasi olahraga berarti bahwa melalui olahraga dapat dicapai integrasi yang
harmonis antara individu yang tadinya terpisah, teralienasi, atau terbuang dari
lingkungannya. Melalui kegiatan berolahraga, proses identifikasi individu ke
dalam situasi kolektif akan tercapai. Hal ini terjadi melalui dua macam
mekanisme: pertama, melalui perasaan kental sebagai warga komunitas, seperti
halnya terjadi pada sebuah tim kabupaten, tim provinsi, atau tim nasional.
Mekanisme kedua yaitu melalui perasaan sebagai “orang dalam” dan “orang luar”.
Integrasi terjadi karena kebulatan komitmen untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi
politik olahraga merupakan perluasan dari fungsi integrative. Yang tampil
adalah kesadaran sebagai satu negara dan kebanggaan terhadapnya, sehingga
olahraga digunakan untuk menghasilkan identitas nasional dan prestise. Selama
diterapkan paradigm revolusi multi-kompleks, semasa kepemimpinan Bung Karno, fungsi
politik olahraga mencapai puncaknya, dan IOC termasuk Negara barat mengeritik
hal itu sebagai politisasi olahraga. Realisasinya dalam bentuk sanksi atau
penolakan kehadiran suatu Negara, seperti ketika Indonesia menolak mengundang
Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta, dan sebagai akibatnya
Indonesia kena sanksi yaitu tidak diperkenankan ikut dalam Olimpiade 1964 di
Tokyo, Jepang.
Fungsi
mobilitas sosial, terutama dari kalangan minoritas dan atlet yang tadinya
berstatus sosial ekonomi rendah terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama,
peningkatan prestise terkait dengan prestasi; dan kedua prestasi sosial plus
ganjaran ekonomi.
Makna
Ekspresi Olahraga
Makna
ekspresif olahraga berpangkal pada pengalaman terlibat dalam kegiatan olahraga
dan seseorang merasa mampu dan cakap. Termasuk di dalamnya adalah perasaan
sukses atau mandiri yang kemudian menghasilkan penilaian diri yang positif yang
diungkapkan dalam istilah self concept atau self esteem (Sachs, 1984; dalam De
Knop,1996).
Melalui
kegiatan olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk menyatakan dirinya atau
melampiaskan ketegangan, seperti dikemukakan dalam fungsi Sosial-emosional di
atas tadi. Hal ini mendukung teori Cartasis (Van der Gogten, 1988; dalam De
Knop, 1996).
Makna
Simbolik dari Olahraga
Simbol
material dan non material, terutama bagi anak muda merupakan actor penting
untuk membentuk identitas pribadi yang selanjutnya penting untuk membentuk self
esteem. Simbol itu penting bagi seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang
lain. Simbol material beraneka ragam seperti gaya potongan rambut, pakaian,
sarana transfortasi, sedangkan symbol non material misalnya ungkapan verbal,
sikap dan minat.
Makna
Interaksi Sosial dari Olahraga
Partisipasi
seseorang dalam olahraga memberikan kesempatan kepadanya untuk berafiliasi
dalam kelompok atau berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Motif
berafiliasi menjadi pendorong utama, terutama di lingkungan masyarakat yang
telah maju dan individu merasakan suasana keterpencilan satu sama lain. Karena
itu olahraga merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi pergaulan yang
luas dan seseorang saling mengenal satu sama lain. Nilai silaturahmi dan
persaudaraan amat kental dalam olahraga.
MODUL 2
LANDASAN ILMIAH
OLAHRAGA
Diadaptasi
dari :
Prof
.Dr . H. Supandi
A. Gerak Sebagai Kebutuhan
Mendasar
Apa
sesungguhnya kebutuhan yang hakiki itu ? kebutuhan itu ialah gerak yang
spesifik yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Gerak itu merupakan
keniscayaan dan tergolong kebutuhan dasar seperti halnya makan dan minum.
Karena bergerak manusaia mampu bertahan hidupdan melalui gerak itulah manusia
mencapai beberapa tujuan seperti pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan
sosial.
Apabila
manusia menderita kekurangan gerak maka manusia akan mengalami berbagai
kelainan fisik, mental, atau sosial. Kekurangan gerak yang di derita itu di
sebut hipokinetik, atau penyakit kurang gerak. Kurang gerak ini sering timbul
karena ulah manusia itu sendiri. Di sepanjang kehidupanya, manusia selalu
berusaha agar hidup lebih nyaman dan lebih ringan. Dorongan ini menyebabkan
kebudayaan berkembang, terutama teknologi yang maju pesat. Akibatnya ialah
kehidupan manusia menjadi lebih ringan.
B. Landasan Biolagik Gerak
Insani
Secara
alamiah manusia di ciptakan sebagai makhluk yang dinamik. Manusia mempunyai
kemampuan gerak yang sangat besar. Hal ini karena struktur tubuh manusia yang
bertumpu pada dua belah kaki dan titik beratnya yang tergolong tinggi. Kondisi
ini memberikan kebebasan bergerak yang lebih luas dibandingkan dengan makhluk
hidup lainya yang bertumpu pada empat kaki. Jelaslah manusia mempunyai potensi
gerak yang lebih tinggi dan bahkan kian tinggi karena struktur kakinya yang
berbentuk busur. Keadaan ini
memungkinkan manusia bergerak secara luwes dan bahkan dapat menghindari
hentakan yang merugikan tubuh manusia.
Manusia
sering menderita akibat kelemahan yang bertalian dengan aspek biologik. Seperti
di kemukakan Barrow (1983), kelemahan biologik pada manuisa dirangkum sebagai
berikut :
1. Kebugaran
jasmani yang rendah
2. Penyakit
hipokinetik
3. Ganguan
mental :
a. Pengaruh
gerak terhadap keselamatan umum otot dan jantung
b. Pengaruh
terhadap volume darah per denyut jantung
c. Pengaruh
terhadap frekuensi denyut nadi
d. Pengaruh
terhadap darah
e. Pengaruh
terhadap tekanan darah arteri
f. Pengaruh
terhadap butir-butir darah merah
g. Pengaruh
terhadap
h. Pengaruh
terhadap penasaran
C. Olahraga Ditinjau dari
Aspek Kejiwaan
Mengapa
manusia bergerak ? pertanyaan ini terulang kembali dan dapat ditelaah dari
aspek kejiwaan. Manusia bergerak bukan saja karena secara biologik merupakan
makhluk aktif, namun di dorong pula oleh motif lainnya. Di tinjau dari aspek
kejiwaan, sumbangan yang bermanfaat dari kegiatan fisik menurut scoot (1960)
secara garis besar sebagai berikut :
1. Perubahan
sikap mental
2. Perbaikan
efisiensi sosial
3. Perbaikan
persepsi sensoris dan reaksi berangkai
4. Pembinaan
perasaan sejahtera dan sehat
5. Peningkatan
relaksasi yang lebih baik
6. Keringanan
dalam masalah psikosomatik
7. Perolehan
keterampilan yang memadai
D . Olahraga Ditinjau
dari Aspek Sosiologis
Olahraga
bukan semata-mata kegiatan individu. Olahraga juga patut di pandang sebagai
kegiatan sosial yang lestari. Olahraga yang berisi pertandingan atau kompetisi,
yang mengandung unsur permainan dan terlembaga itu kian bermakna karena di
laksanakan dalam kehidupan sosial.
Berkaitan
dengan keterlaksanaan olahraga dalam latar belakang kehidupan sosial, maka
olahraga mengandung tiga fungsi yaitu a) katarsis, b) pembelajaran, c) symbol
atau lambang.
Namun
sebaliknya, proses interaksi itu sering menjadi ajang pengembangan diri sebagai
individu dan sebagai anggota kelompok. Selanjutnya perilaku sosial yang patut
di bina pada anggota kelompok secara garis besar dikemukakan sebagai berikut :
1. Kerja
sama
2. Persaingan,
menjadi dua jenis yakni
a. Kompromi
b. Mengebawahkan
(subordinating)\
c. Memanfaatkan
jasa penengaha
d. Arbitrase
e. Toleransi
f. Gencatan
senjata
Modul
3
ILMU
KEOLAHRAGAAN DAN BEBERAPA ISU FILOSOFIS
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli
Lutan
Pertanda nyata berupa
kemajuan di satu pihak dan kemunduran di pihak lainnya dalam dunia olahraga
rupanya sudah mulai menjalar ke Indonesia. Keadaan ini telah terjadi pada tahun
1990-an di Amerika Serikat dan sudah pernah di ungkapkan pada abad ke 6 SM di
yunani. Waktu itu, semangat Olympiade telah pudar. Pertandingan terlampau
berlebih, dan hadiah yang paling di utamakan. Kegiatan dikelola dan
diorganisasi dengan tekanan dan perolehan keterampilan dan prestasi.
A.
Beberapa
Konsep Dasar
Konsep ialah
“mental-image” tentang suatu objek, atau makna yang tertangkap berdasarkan
ciri-ciri umum yang terdapat pada suatu objek. Sebagai contoh, daya tahan
adalah konsep yang kita jumpai dalam olahraga. Konsep itu kita pahami sebagai
kemampuan untuk melakukan kerja fisik terus menerus tanpa kelelahan yang
berlebihan. Kita juga akan menangkap makna dari suatu gejala, seperti misalnya
kemampuan seseorang untuk mengangkat sejumlah kepingan besi. Segera kita
mengatakan orang itu kuat. Dengan kata lain, konsep merupakan sebuah label yang
bagi seperangkat ciri dari sebuah objek.
1.
Bermain
Bermain merupakan
sebuah konsep. Berkaitan dengan hal ini, manusia di sebut mahluk bermain ( homo
ludens ). Pernyataan ini tentu dikemukakan setelah orang memahami kecenderungan
pola perilaku manusia pada umumnya. Rector Universitas Leyden, Johan Huizinga
dalam bukunya yang terkenal Homo Ludens, (1950) mengupas hakekat bermain. Ciri
utama dan pertama ialah bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara bebas
dan sukarela. Namun kebebasan ini tak berlaku bagi anak-anak dan hewan, mereka
bermain karena dorongan naluri. Lain halnya dengan orang dewasa, bermain
merupakan kebutuhan sepanjang kesukaan untuk melakukannya merupakan kebutuhan.
Ciri kedua yang bertalian dengan yang pertama tadi ialah bermain bukanlah
kehidupan “biasa” atau yang “nyata”.
Ciri berikutnya ialah
bermain memiliki tujuan yang terdapat dalam kegiatan itu dan tak terkait dengan
perolehan atau keuntungan materi. Ciri inilah yang membedakan bermain dengan
bekerja, meskipun pada akhirnya batas antara hal itu begitu tipis.
Kesimpulannya ialah, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar,
sukarela, tanpa paksaan dan tidak sungguhan dalam batas waktu, tempat dan
ikatan peraturan. Menyertai kesemua ciri itu bermain menyerap ikhtiar yang
sungguh-sungguh dari pemainnya disertai
ketegangan dan kesukaan untuk mencapai tujuan yang berada dalam kegiatan itu
sendiri dan tidak berkaitan dengan perolehan materi.
a.
Agon
Jenis permainan ini
mencakup semua bentuk permainan yang bersifat pertandingan atau perlombaan.
Dalam pelaksanaannya, kedua pihak yang berlawanan memperoleh hak dan kesempatan
yang sama. Karena itu, wasit yang mengatur jalannya pertandingan menjalankan
tugasnya tanpa niat memihak. Tujuan akhir ialah mencapai kemenangan. Permainan
tenis, bulutangkis, sepak bola, Dll, merupakan contoh dari permainan yang
tergolong agon.
b.
Alea
Dalam bahasa latin kata
ini digunakan untuk permainan yang menggunakan dadu. Caillois menggunakan
istilah itu untuk menamakan sekelompok permainan yang hasilnya bersifat
untung-untungan atau keberuntungan satu pihak. Permainan dadu, rule, bakarat,
lotrre, dll, merupakan contoh yang mudah dipahami.
c.
Mimikri
Jenis ini mencangkup
semua bentuk permainan yang mengandung ciri pokok permainan seperti yang
dikemukakan Huizinga yaitu kebebasan, batasan waktu dan ruang, dan bukan
sungguhan. Tersirat di dalamnya ilusi, imajinasi, dan intterprestasi. Semua
jenis permainan anak-anak yang cenderung berperan pura-pura, seperti bermain
perang-perangan, memanusiakan benda, dan memperlakukan satu objek dengan fungsi
lain (misalnya, kursi sebagai mobil) tergolong jenis mimikri.
d.
Ilinx
Jenis ini mencakup
semua bentuk permainan yang mencerminkan pelampiasan keinginan untuk bergerak,
bertualang, dan dalam wujud kegiatan dinamis, sebagai lawan dari keadaan diam,
stabil atau seimbang. Mendaki gunung, ilah raga di alam terbuka, permainan
ayunan anak-anak, merupakan contoh dari kategori keempat.
2.
Pendidikan
Jasmani
Khusus di lingkungan
lembaga pendidikan di Indonesia kita mengenal Modulak sejarah penggunaan
istilah yang bertalian dengan keolahragaan yaitu: (1) masa gerak badan
(1945-1950), (2) masa pendidikan jasmani (1950-1961), (3) masa olahraga
(1961-1966), dan sekarang (4) masa olahraga dan pendidikan jasmani (1978 hingga
sekarang). Dalam literatur Barat pernyataan ini kita jumpai dalam kalimat
singkat yang dikemukakan Kroll (1982), yaitu “physical education is education
through, and not of, the physical”.
Suasana pendidikan itu secara nyata nampak dalam
wujud rangsangan atau penyediaan pengalaman belajar Prof. Rijsdorp dalam
gymnologi membagi pengalaman belajar yang bersifat mendidik ke dalam empat
kelompok:
a. Pembentukan
gerak
1)
Memenuhi keinginan
untuk bergerak
2)
Menghayati ruang, waktu
dan bentuk, termasuk perasaan irama
3)
Mengenal kemungkinan
gerak sendiri
4)
Memiliki keyakinan
gerak dan perasaan sikap (kinestetik)
5)
Memperkaya kemampuan
gerak
b. Pembentukan
prestasi
1)
Mengembangkan kemampuan
kerja optimal melalui pengajaran ketangkasan
2)
Belajar mengerahkan
diri untuk mencapai prestasi, misalnya dengan pembinaan kemauan
3) Konsentrasi,
keuletan
4)
Menguasai emosi
5)
Belajar mengenal
keterbatasan dan kemauan diri
6)
Membentuk sikap yang
tepat terhadap nialai yang terdapat dalam kehidupan
c. Pembentukan
social
1)
Mengakui dan menerima
peraturan dan norma bersama
2)
Belajar bekerja sama,
menerima pimpinan dan memimpin
3)
Belajar bertanggung
jawab berkorban, dan memberikan pertolongan
4)
Mengembangkan pengakuan
terhadap orang lain sebagai diri pribadi dan rasa hidup masyarakat
5)
Belajar mengenal dan
menguasai bentuk kegiatan pengisi waktu luang secara aktif
d. Pertumbuhan
1)
Meningkatkan syaraf
untuk mampu melakukan gerak dengan baik dan berprestasi optimal
2)
Meningkatkan kesehatan
atau kesegaran jasmani, termasuk kemampuan bertanggung jawab
3) Terhadap
kesehatan diri sendiri dan kebiasaan hidup sehat
3. Rekreasi
Istilah rekreasi
(recreation) sering di terjemahkan dalam kata “menciptakan kembali”. Itupun tak
begitu jelas, seperti halnya “melepas lelah” karena dalam kenyataanya rekreasi
juga mengandung makna ketegangan. Kata pemulihan kembali (bahasa Jerman:
Ausgleich) akan mendekati. Tapi yang dimaksud ialah keseimbangan dinamis, bukan
statis. Pendekatan lain untuk memahami istilah rekreasi yaitu berdasarkan
istilah “leisure” atau waktu luang yang dipakai dalam bahasa Inggris dan
Amerika Utara. Kata yang berasal dari bahasa Latin (licere=diizinkan) itu juga
tidak berapa jelas. Istilah rekreasi di lihat dari segi tujuannya yaitu: (1)
sebagai pelepas lelah, (2) sebagai penyaluran dalam pengisian waktu luang, (3)
sebagai penyeimbang kerja, (4) pemenuhan dorongan untuk bergabung dalam
kelompok.
4. Olahraga
(sport)
Tiga ciri pokok
olahraga yang dianggap mematikan semangat ialah (1) penekanan kemenangan, (2)
pengutamaan teknik dan keterampilan yang baik, (3) kehadiran penonton. Matveyev
(1981) mengatakan, olahraga merupakan suatu kegiatan otot yang enerjik dan
dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya dan kemauannya
semaksimal mungkin. Loy (1968) mengemukakan olahraga memerlukan peragaan
ketangkasan fisik yang terungkap dalam keterampilan, kesegaran jasmani atau
kombinasi kedua hal itu di samping mengandung ciri bermain, olahraga bersifat
kompetetif.
a. Ciri
hakiki dalam olahraga
1)
Olahraga merupakan
subbagian dari permainan
Olahraga
sejati bukan sesuatu yang mendatangkan mudarat atau tak menyenangkan namun
merupakan sumber kesukaan dan kebahagiaan atau maslahat (Fink, 1957).
2)
Ciri khas dalam
olahraga
a) Olahraga
berorientasi pada kegiatan jasmani dalam wujud keterampilan motori, daya tahan,
kekuatan, kecepatan
b) Olahraga
sebagai sebuah realitas
c) Prinsip
prestasi dalam olahraga
Berlandaskan pada uraian itu, secara umum dapat
dikemukakan yakni prinsip prestasi dalam olahraga ditandai oleh :
§ Peragaan
kemampuan jasmani, sehingga jelas prestasi olahraga diarahkan pada penguasaan,
pemeliharaan, dan peningkatan hingga tingkat mentok keterampilan motorik (wiss,
1980)
§ Kegiatan
olahraga dilaksanakan secara sukarela
§ Kegiatan
olahraga dilakukan bertujuan bukan untuk menghancurkan lawan
3) Aspek
sosial dari olahraga
Meskipun kebebasan
tetap ada pada pemain, tetapi suasana kemasyarakatan tak dapat di abaikan. Yang
jelas ialah, olahraga itu kian bermakna jika dilakukan di lingkungan sosial.
Selanjutnya, olahraga itu dipelajari di lingkungan sosial.
b. Ciri-ciri
pelengkap dari olahraga
o
Tujuan
o
Alat yang dipakai untuk
mencapai tujuan
o
Peraturan
o
Keterlaksanaan
berdasarkan kemampuan yang berorientasi
o Sikap
si pelaku
B.
Fair
Play
Warnock (1971)
terkandung kecenderungan yang melekat untuk berbuat buruk. Pernyataan ini
mengingatkan kita akan potensi negative dari olahraga kompetitif yang
dilakaukan secara berlebihan seperti, (1) kelalaian pada watak atlet (Yativ,
1969 : Lakie, 1964), (2) bahaya partisipasi pasif dari penonton (Kleinman, 1960
: Nash, 1938), (3) bahaya perilaku agresif (Berkowitz, 1964), dan bahaya
konflik antar kelompok (Sherif, 1966). Karena itu kejujuran (fairness) atau
fair play menekankan tindakan tak memihak (khususnya dari wasit) dan penekanan
tanpa pandang buluh dalam upaya mencapai kemenangan atau keunggulan.
Berdasarkan uraian di
atas, wujud nyata dari fair play ialah:
·
Kesiapan dan kesediaan
untuk mentaati peraturan, respek terhadap wasit
·
Respek terhadap lawan
C.
Ilmu
Keolahragaan ( Sport Sciences )
a. Subdisiplin
berlandaskan pengetahuan Anatomi-Fisiologi-Mekanika:
1. Ilmu
kedokteran olahraga ( sport medicine )
2.
Biomekanika olahraga (
Sport biomechanic )
b. Subdisiplin
berlandaskan ilmu social ( behavioral )
1. Psikolagi
olahraga ( sport psychology )
2. Pedagogi
olahraga ( sport pedagogy )
3. Sosiologi
olahraga ( sport sociology )
c. Subdisiplin
berlandaskan pengetahuan sejarah dan filsafat
1. Sejarah
olahraga ( sport history )
2. Filsafat
olahraga ( sport philosophy )
D.
Aplikasi
IPTEK dalam Olahraga
Pidato Presiden Jerman
Barat, Richard von Weizacker pada tanggal 16 November 1985 yang disampaikan
dalam pertemuan Komite Olympiade Jerman Barat menggelitik perhatian para ilmuan
olahraga. Presiden von Weizacker mengungkapkan sukses yang pantastik dalam
olahraga sebagai satu bentuk budaya dan prinsip prestasi seperti tercakup dalam
motto “citius, forties, altius”. Prinsip ini merupakan cerminan dari peradaban
masyarakat barat yang dibangun oleh dukungan IPTEK. Masalah yang muncul, kata
tuan Von Weizacker ialah meskipun IPTEK berkembang terus, tapi tubuh manusia
tak bias demikian. Yang menggoda kita ialah perlakuan terhadap badan bak sebuah
mesin.
MODUL 4
DIMENSI SOSIAL BUDAYA
DALAM PEMBINAAN OALHRAGA
Oleh:
Dr.
Nina Sutresna
Interaksi Nilai Budaya
dan Olahraga
Masyarakat memiliki potensi untuk berubah, membentuk
dan mengarahkan perkembangan kelembagaan olahraga besertan kegiatannya, dan
sebaliknya olahraga juga berpotensi untuk mempengaruhi lingkungan masyarakat
sekitarnya. Pada tingkat individu keadaan demikian juga terjadi yaitu transaksi
(hubungan timbal balik) antara individu dan lingkungannya berlangsung di
sepanjang hidupnya.
Survei koni jabar 1973 (supandi, dkk) menyongsong
PON VII di jakarta mengungkapkan opini atlet jabar tentang berbagai aspek, yang
diantaranya adalah bahwa hanya sekitar 3% atlet anggota kontingen jabar yang
berkeinginan ( jika ada kesempatan ) untuk hujrah ke daerah lainnya dengan
motif untuk memperoleh jaminan sosial yang lebih baik. Sekitar 19 tahun
kemudian, tepatnya 1992, surpai KONI jabar ( Rusli Lautan, dkk ) mengingkapkan
aspek serupa.
Hasilnya sungguh mencolok perbedaannya dengan survei
pertama, yaitu sekitar 40,76% dari atlet yang dipersiapkan menghadapi
kualifikasi PON XIII yang berasal dari 21 cabang olahraga (sample seadanya
sebesar 309 orang) mengungkapkan bahwa mereka ingin pindah ke daerah lain jika
tidak ada jaminan sosial yang lebih baik.
Ungkapan keinginan para atlet top tersebut
sesungguhnya mencerminkan sikap dan persepsi mereka terhadap olahraga yang
tidak lagi semata-mata merupakan objek pemenuhan dorongan atau motivasi intinsic,
tetapi merupakan “kerja” yang dapat mendatangkan ganjaran dari luar. Keadaan
ini dapat kita kaitkan dengan perkembangan sejarah dan perubahan sosial yang
terjadi.
Sekitar satu desawarsa kemudian kita amati arus
balik dari jawa ke luar jawa. Keadaan ini berkaitan erat dengan gejala dalam
kependudukan, yaitu mobilitas penduduk antar daerah/pulau kian meningkat karena
dukungan system transportasi yang kian memebaik dengan pembangunan kian merata
keseluruh tanah air. Keadaan ini dipengaruhi oleh peningkatan pembinaan di
setiap daerah karena di dukung oleh pemerintah daerah dan pihak swasta dalam
penyediaan dana.
Yang menarik perhatian kita adalah olahraga
dimanfaatkan sebagai pemantik dari proses dinamis seiring pembangunan daerah,
olahraga sebagai medium untuk mempercepat proses enkulturasi, olahraga sebagai
proses pembangunan. Pencapaian prestasi dalam wujud perolehan medali atau
kejuaraan merupakan nilai tambah dari keuntungan lainnya yang berasal dari
proses pembinaan itu sendiri, sementara rangkaian akibat dalam wujud dampak
positif terhadap perubahan sosial budaya masyarakat sungguh tidakkalah
pentingnya.
Secara bertahap diperkenalkan system nilai
berprestasi dengan harapan system nilai ini juga beralih pada sector lainnya.
Selanjutnya, pencapaian prestasi dengan berbagai penghargaan simbolik (misalnya
medali, gelar juara) itu juga ditumpangi oleh niali yang menutamakan efisensi
dan kemanfataan. Karena itu, pihak swasta yang banyak berperan sebagai
penyandang dana, sungguh mungkin lebih berorientasi pada produk ketimbang
proses.
Meskipun kejadian seperti itu baru berupa kasus,
namun jiga dibiarkan akan merembet menjadi masalah nasional di bidang
keolahragaan yang mengacaukan tatanan system pembinaan. Karena itu, perlu
ditertibkan melalui tata aturan yang mengatur ihwal perpindahan.
Perubahan Orientasi
Meskipun cabang olahraga kompetitif (prestasi) yang
dikelola di bawah gerakan Olympiade masih dominan, namun beberapa tahun
terakhir ini mulai tampak keragaman jenis/cabang olahraga yang dilakukan oleh
masyarakat, terutama kaum muda. Hal ini ada kaitannya dengan peranan lingkungan
generasi muda, seperti keluarga, klub
olahraga dan sekolah.
Dalam kenyataannya, kita mengandalkan sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal mampu memainkan peranan utama dalam meletakan
dasar yang kuat dalam bidang olahraga. Namun proses pendidikan jasmani/olahraga
yang berlangsung di sekolah-sekolah dengan kurikulum inti berupa kecabangan
olahraga itu tidak seberapa berhasil dalam menanamkan apresiasi itu terhadap
olahraga, menumbuhkan keterampilan dasar, merangsang kemampuan kognitif dan
bahkan keterampilan sosial dalam hidup bermasyarakat. Padahal, sekolah
merupakan medium yang sangat strategis dalam rangka pembentukan dan pembinaan
olahraga, namun prosesnya lemah karean terlampau banyak kendala (misalnya
keterbatasan dana, alat-alat, dan fasilitas olahraga).
Sementara itu, klub olahraga atau organisasi induk
olahraga yang lebih berorientasi pada olahraga prestasi juga mengalami
persoalan yang hampir sama dengan keadaan di sekolah. Lemahnya kapabilitas
manajemen, dan kelangkaan sumber daya (terutama dana dan keterampilan teknis)
merupakan faktor pembatas untuk mencapai hasil yang optimal.
Pada golongan yang lebih tua kita amati perkembangan
yang sangat menggembirakan yakni partisipasi dalam kegiatan olahraga yang lebih
berorientasi pada kesehatan (helath awareness), seperti yang terhimpun dalam
klub jantung sehat, klub-klub senam dan tai-chi.
Karena itu nilai-nilai sosial dan sikap remaja atu
kaum muda terhadap olahraga merupakan modal dasar (Bourdie, 1985). Hal ini
memang perlu memperoleh penekanan, karena struktur pendidikan di Indonesia,
termasuk di Jawa Barat adalah struktur usia muda. Gejala perubahan itu pada
gilirannya berimplikasi pada strategi pembinaan.
Strategi pembinaan
Uraian di atas merupakan prolog dari analisis
terhadap kecenderungan pergeseran makna konsep olahraga yang semula dipahami
menyempit sebagai peranan keterampilan dan ketangkasan fisik melalui pengerahan
tenaga maksimaldalam rangka kompetisi baik unruk mengatasi tantangan unsur
alam, dan lawan demi prestasi, lalu meluas menjadi aktivitas jasmani yang
memberikan tempat bagi pengembangan kretivitas dan spontanitas, dan nilai-nilai
hedonistic, seperti menikmati kesukaan, petualangan dan pemenuhan kebutuhan emosional.
Sementara ini, seperti dalam kegiatanpembinaan olahraga daerah ini, inti
krgiatan yang lebih banyak memeperoleh curahan perhatian dan pembinan adalah
cabang-cabang olahraga kompetitif yang searahdenga nomor-nomor resmi yang
dipertandingkan di tingkat nasional dan internasional.
Karena itu, proses pembinaan olahraga yang pada
hakikatnya berlangsung dalam lingkungan sosial, beserta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di dalamnya, sebaiknya peduli terhadap gejala perubahan itu,
terutama gejala perubahan nilai di kalangan kaum muda, termasuk gaya hidupnya.
Ketidapedulian kita terhadap faktor ini, sungghuh mungkin merupakan
penyemodul., ketidakmampuan kita mencapai hasil yang optimal dalam pembinaan
olahraga.
Proses Sosialisasi
1.
Agen
Sosial
Anak belajar tentang prilaku dengan
mengamati orang lain yang bisa dijadikan model dan dengan cara
menginternalisasi, menghayati dan mengendapkan kesemua perilaku itu sehingga
menjadi bagian dari perilakunya sendiri. Proses semacam itu disebut dalam
istilah sosial learning. Dalam konteks olahraga, belajar dari model atau dari
orang lain dilingkungan sekitar merupakan jumlah yang lumrah. Bahkan cukup kuat
kebenarannya, proses belajar olahraga (misalnya mulai menyenangi suatu cabang)
terangsang oleh pengaruh prilaku orang sekitar seperti seorang kampium yang
dijadikan idola, anggota keluarga (misal ayah atau ibu, saudara sekandung) atau
teman sepermainan. Konsep utama yang melandasi gejala tersebut dapat kita
ungkapkan dalam istilah sosialisasi.
Dalam proses sosialisasi ada tiga elemen
pokok yang memungkinkan berlangsunya proses belajar-sosial, yakni : (1) Agen
Sosial, (2) Situasi Sosial, dan (3) Krakteristik Personal (Kenyon &
McPherson, 1973).
2.
Situasi
Sosial
Faktor lain yang dianggap berpengaruh
terhadap partisispasi dalam olahraga dan keterampilan berolahraga ialah
lingkungan fiscal dimana kegiatan bermain dan berolahrag dilakukan. Kurangnya
lapangan di sekitar rumah, smpitnya tanah lapang dan taman-taman tempat bermain
karena sudah terisi oleh bangunan, atau jalan raya yang tak mungkin dipakai
olah anak untuk bermain karena bahaya lalulintas menyeModulkan kesempatan bagi
anak-anak untuk bergerak semakin berkurang. Isu ini sungguh menarik untuk
diteliti secara mendalam di Indonesia. Lenyapnya permainan tradisional karena
tergeser oleh jenis permainan. Isu ini sungguh menarik untuk diteliti secara
mendalam kemungkinan bukan semata-mata karena dampak kemajuan teknoloogi,
tetapi uga perubahan tata lingkungan.
3.
Karakteristik
Personal
Bagaimana persepsi anaktentang kemampuannya
dalam olahraga dianggap berpengaruh terhadap keterlibatannya dalam kegiatan
tersebut. Persoalan tersebut, telah diselidiki antara lain oleh Lewko &
Ewing (1980). Yang menarik dari susut ini yakni, anak pria mempersepsi
kemampuan mereka tinggi, meskipun tak terkait dengan keterlibatannya. Hal ini
rupanya ada hubungannya dengan pandangan umum yang melekat bahwa pria memiliki
sifat kelaki-lakian yang cocok untuk melakukan pekerjaan berat. Kebalikannya,
hanya wanita yang terlibat dalam kegiatan olahraga yang mempersepsi kemapuannya
tinggi; anak wanita yang tidak berolahraga cenderung mempersepsi kemampuannya
rendah. Karean itu, implikasi penting dari penemuan tersebut ialah, proses
sosialisasi olahraga dapat dilangsungkan dengan dua pendekatan yang berbeda terhadap
anak pria dan anak wanita.
MODUL 5
PEMBINAAN OLAHRAGA USIA DINI
DALAM KACAMATA SOSIAL
Oleh
: Dr. Nina Sutresna
Setiap cabang olahraga memiliki
karakteristik masing-masing dan bila ditinjau dari sudut pandang belajar
motorik, setiap cabang olahraga itu memerlukan tingkat kemampuan atau ability
yang berbeda pula.Istilah ability identik dengan bakat dalam olahraga, yakni
kemampuan alamiah yang sifatnya keturunan dan hanya sedikit kemungkinannya bisa
berubah karena belajar atau berlatih. Setiap cabang olahraga memerlukan
sejumlah unsur ability yang berbeda.
Disamping faktor bakat atau abilityitu, maka
kesiapan belajar sangat berpengaruh terhadap efektivitas proses belajar
mengajar keterampilan oalhraga. Faktor kematangan ini sering pula di kaitkan
dengan umur kerangka sebagai indicator, namun kerena ruwet dari segi teknis
(harus di periksa dengan sinar-X orang enggan memperlakukan seperti itu), maka
lebih cocok digunakan tes keterampilan tertentu. Kelemahan umum adalah program,
isi, dan sekuen latihan atau tugas gerak tidak sesuai dengan tingkat kematangan
anak.
Anak yang berbakat dapat dipantau
dari proses pembinaan. Beberapa indikasi yang teramati yaitu :
·
Kemampuan belajar
meningkat cepat
·
Prestasi yang dicapai
relative stabil, artinya kurva turun naiknya tidak terjadi secara drastic
·
Antusias mengikuti
program
·
Suka mencari tantangan
·
Tahan terhadap sters
fisik maupun mental, seperti tercermin dari daya toleransi yang tinggi terhadap
beban kerja atau latihan.
Dari segi fisik (fungsi fisiologi)
atau structural (misalnya tife dan ukuran tubuh),kita dapat dengan mudah
identifikasi apakah sesesorang memiliki potensi dalam suatu cabang olahraga,
namun peluang untuk berhasil tidak dapat dijelaskan hanya dari sudut itu,
karena ternyata faktor lingkungan sosial, termasuk seperangkat nilai norma yang
terdapat didalamnya memainkan peranan penting, proses sosialisasi pada
gilirannya menentukan seberapa banyak kesempatan seseorang untuk mengembangkan
hak dan potensinya.
Berkaitan dengan faktor Milleau,
maka proses sosialisasi melalui olahraga dan untuk menjalankan peranan dalam
olahraga, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya baik bersifat bawaan
maupun perolehan. Faktor bawaan yang diwariskan dari keluarga seperti status
sosial, jenis ras atau suku bangsa, kedudukan, dan urutan keluarga dan bahkan
faktor geografis berpengaruh dalam pembinaan potensi seseorang dalam olahraga.
Bukti-bukti riset sudah banyak
mengungkapkan bahwa atlet elit berprestasi memulai karirnya dalam olahraga
kompetitif sejak usia dini dan sejak mula mereka menunjukan prestasi dan bahkan
aktif dalam beberapa cabang olahraga. Dalam proses pembinaan lingkungan,
lingkungan yang dominan adalah pelatih, teman sepermainan, dan orang tua. Karna
itu peranan keluarga, sekolah, dan klub yang menciptakan kerjasama anak,orang
tua,guru dan pelatih menjadi faktor kunci pencapaian keberhasilan.
Disamping olahraga mengandung
potensi positif dalam pembinaan dan pembentukan, namun partisipasi yang
berlebihan dalam olahraga kompetitif mengandung masalah khusus seperti karier
yang tidak jelas pada masa berikutnya, penamaan perilaku agresif, campur tangan
orang tua terlampau banyak, dan gejala “drop out” dari kegiatan
berlatih. Yang terakhir ini disebutkan beberapa alasan misalnya karena kebosanan
atau anak di bombardir dengan stress, di samping alasan ini seperti terlampau
berorientasi pada kemengan. Karena itu, orientasi perlu bergeser ke “perolehan
kepuasan”.
Keterlibatan anak dalam oalahraga
kompetitif, selain di pengaruhi oleh situasi objektif dari kompetensi, juga
situasi subjektif, terutama persepsi atau pandangan mereka terhadap kegiatan
itu. Keputusan untuk terlibat juga dipengaruhi oleh kesadaran bahwa yang
bersangkutan mereka berkopenten dalam tugas. Itulah sebetulnya, pendidikan, khususnya
pengasuhan tertuju pada pembekalan pengalaman sukses dan kemandirian karena
berpengaruh terhadap kesadaran berkompenten. Sifat ini merupakan akar dari
kesiapan untuk bersaing dalam olahraga.
Pembinaan usia dini di indonesia
perlu memperhitungkan dimensi sosiologi, terutama efek lingkunagan sosial di
samping faktor lainnya, seperti penelaahan segi biologis, dan psikologis.
Pengkajian mendalam melalui riset perlu di lakukan lebih banyak dalam
kesempatan mendatang.
Selain lingkungan rumah (orang tua),
sekolah (guru/pendidikan jasmani/olahraga) dan klub (pelatih), maka peningkatan
aspirasi terhadap olahraga juga terjadi akibat pengaruh media masa. Peningkatan
teknologi komunikasi yang mendukung terjadinya globalisasi olahraga dan
peredaran informasi menjadi cepat dan bertambah jumlahnya sangat mendukung
berlangsungnya proses pembelajaran sosial. Berkaitan dengan itu, maka modeling
juga telah berlangsung, sementara yang dijadikan idola adalah pemain top dunia
dari luar negeri. Sungguh mengkhawatirkan, karena ada kesan berdasarkan
observasi sepintas, terjadi semacam krisis model dalam negeri. Ini suatu
tantangan bagaimana atlet top nasional terdahulu bisa tampil sebagai sosok
pribadi yang utuh memberikan aspirasi bagi generasi berikutnya untuk mengikuti jejak
keberhasilannya.
Motif politik, odeologis, dan
komersial dalam pembinan olahraga kompetitif di kalangan anak-anak, terutama
dari segi perkembangan dan pertumbuhan anak yang wajar untuk menjalankan
peranan dan fungsi sosial di masyarakat, apabila pengelolanya tidak terkendali
secara baik.
MODUL 6
WANITA DAN OLAHRAGA
Fenomenal Sosial
Oleh:
Dr.
Nina Sutresna
Tayangan The Big Green (sebuah film
bertemakan anak-anak di USA, tayangan salah satu stasiun TV bulan Juni 2001)
yang bertutur tentang upaya keras sebuah
tim sepak bola kecil untuk meraih gelar “The Winner” mengiring penulis pada
pemahaman bahwa tidak ada batasnya antara kaum laki-laki dan wanita dalam dunia
olahraga.
Kesadaran bahwa gender sebagai pembatas ketrlibatan
dunia kaum yang bersebrangan ini menjadi semakin tipis dan nyaris tanpa batas
sejak menjelang habis abad 21. Padahal kalau menilik pada sejarah lampau,
betapa perjuangan kaum mayoritas (wanita) agar dapat diakui esistensinya, tidak
saja terjadi dalam olahraga namun juga kaum wanita harus berkutat dengan
beragam hambatan di bidang lain.
Rujukan sebagai sumber mengisyaratkan, bagaimanapun
juga kaum wanita dianggap sebagai kaum lemah yang keberadaannya tidak pernah
bisa melampaui kaum laki-laki. Bahkan sekalipun di dunia olahraga yang sarat
dengan ‘sportifitas’ dan peduli pada fair play. Kehadiran kaum wanita selalu
dianggap sebagai kelompok yang sarat dengan berbagai kekurangan dibandingkn
dengan kaum laki-laki.
Tuntutan persamaan hak untuk
menjalani aktifitas fisik sebagaimana kaum laki-laki, kerap dianggap sesuatu
yang muskil bisa terlaksana. Dunia olahraga yang sarat budaya fair play kiranya
dapat dijadikan media untuk menghantarkan kaum wanita agar mampu mensejajarkan
diri, berdiri dengan laluasa sebagaimana keberadaan kaum laki-laki. Tinjauan
sejarah serta tilikan perkembangan keterlibatan wanita yang terjadi saat ini,
diharapkan dapat menyuguhkan fakta, bahwa pada dasarnya potensi yang menyertai
kaum wanita tidak semestinya menjadi hambatan untuk dapat berperan serta dalam
kegiatan olahraga, sebagaimana halnya kaum laki-laki.
Kembali pada tayangan The Big Green
yang memacu penulis untuk menyodorkan fakta bahwa kemampuan dan keberadaan kaum
wanita tidak ubah dengan kaum laki-laki. Dapat disaksikan dengan jelas keberhasilan
suatu tim kuat yang merupakan kelompok laki-laki semata. Kepercayaan pelatih
pada kemampuan anak permpuan untuk memikul tanggung jawab sebagai ‘pencetak
gol’ pada adu penalty, merupakan buktu kongkret, bahwa ini ‘dunia sekarang’,
dunia yang mampu memberikan toleransi, yang cukup menampar kaum anti-feminist
karena membiarkan batas jelas antara laki-laki dan perpempuan menjadi luntur.
Olahraga kerap kali dipandang
sebagai dunianya kaum laki-laki. Pemahaman ini tampaknya cukup beralasan, terutama
jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa lampau. Tinjauan kaum wanita dari
berbagai sisi mengiring pada satu pemahaman yang seharusnya mampu membuka mata
(hati) setiap individu agar mampu member tempat yang lebih lapang bagi kau hawa
untuk berperan aktif dan kondusif, beriringan jalan dengan kaum adam.
Isu dan Kontroversi
Bentuk Partisipasi
Wanita dalam Kegiatan Olahraga
Informasi yang berkaitan dengan
keikutsertaan wanita dalam cabang olahraga yang menekankan pada body contact
masih minim. Salah satu hasil penelitian yang digarap oleh Brown dan Davies
(1978), mengindikasikan bahwa sikap wanita pada jenis olahraga yang keras (body
contact) masih sangat rendah, dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pada umumnya
kaum wanita kurang menyukai cabang-cabang olahraga yang di dalamnya sarat
dengan kekerasan fisik. Penelitian yang secara berturut dilakukan oleg
Breidmeier dkk. (1982-1984) menginformasikan bahwa, pada tingkat kompetisi yang
lebih tinggi, baik atlet laki-laki maupun wanita, sudah mulai mengerah pada
partisipasi yang jauh lebih meningkat. Adanya perbedaan bersosialisasi antara
kaum laki-laki dan wanita mempengaruhi pemilihan cabang olahraga diantara
keduanya.
Sosiolog Michael Smith menyimpulkan
bahwa mulai tahun 1970an tingkat keterlibatan wanita dalam olahraga terus
meningkat. Perambahan pada cabang-cabang olahraga keras sebagaimana yang kerap
dilakukan kaum pria, bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu. Kesadaran akan
adanya persamaan antara kaum laki-laki dan wanita semakin membuka kesadaran kaum
wanita, sehingga penerapan strategi dalam cabang olahraga keras merupakan
sesuatu yang cukup mengasyikan.
Kekerasan sering diartikan sebagai
lambang masculinities. Adanya orientasi ini pada akhirnya mengiring
mempengaruhi perbedaan pemilihan jenis aktifitas yang dilakukan kaum wanita,
terutama dikaitkan dengan kehidupan social dan nilai Sosial yang ad di
masyarakat.
Gender Relations
Kendala Bagi Kaum
Wanita
Beberapa
pendapat;
“Olahraga identik dengan kaum
laki-laki. Standar ganda yang berlaku dikalangan mayarakat mensyaratkan bahwa
wanita hanya sebagai objek bukan subjek” (Doroyhy Harris, 1987).
“Jumlah wanita yang berperan sebagai
pelatih dan menduduki posisi sebagai administrasi olahraga dalam sepuluh tahun
terakhir mulai beranjak pada angka 50% bahkan lebih. Olahraga wanita mengalami
peningkatan yang berarti, namun demikian sebagian besar kaum laki-laki masih
meyakini bahwa kaum wanita tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk
aktifitas tersebut.” (Carrol Mann,
PresidenFederasi Olahraga wanita, 1988).
“Suatu hal yang saya yakini, bahwa
Tuhan tidak menciptakan tubuh kaum wanita untuk melakukan pekerjaan yang penuh
kekerasan. Tubuh mereka hanya dipersiapkan untuk menjalani segala sesuatu yang
berbau feminis ”(Bob Kneppers, pelatih dan Pemain Bola basket USA, 1988).
Bentuk Partisipasi
Wanita dalam Olahraga
1.
Peningkatan
Partisipasi
Sejak awal era 70-an, terjadi perubahan yang cukup
dramatis berkaitan dengan peranan wanitadalam kegiatan olahraga. Beberapa
alasan yang mengemukakan antara lain adanya perubahan yang terjadi dikaitkan
dengan nilai social yang terjadi pada masyarakat, terutama di Negara-negara
industry. Perubahan tersebut yakni berkaitan dengan peningkatan;
1. Kesempatan
Baru.
2. Kebijakan
Pemerintah.
3. Aktifitas
Wanita.
4. Kesehatan
dan Kebugaran Jasmani.
5. Pemberian
penghargaan dan publisitas atlet wanita.
2.
New
Opportunities (Kesempatan Baru)
Sebelum datangnya tahun 1970 kaum wanita tidak ikut
ambil bagian dalam olahraga dengan satu alasan yang sangat sederhana, yakni
tidak adanya perkumpulan dan program yang tersedia bagi mereka. Pemikiran
seperti itu lambat laun berkurang dan bahkan menghilang. Meskipun sebagian
orang tua belum memiliki pemahaman yang sama terhadap perubahan pola piker
tersebut, kegiatan olahraga sudah mulai menarik minat kaum wanita, terutama
kaum remaja putri. Kesadaran adanya kesempatan baru yang cukup menantang ini
semakin mengundang kehadiran para remaja putri untuk turut mengambil bagian
dalam kegiatan olahraga di sekolah.
3.
Kebijakan
Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang mulai menerima keberadaan
wanita dalam kegiatan olahraga serta kegiatan lainnya, seperti ekonomi,
politik, dan lain-lain pada awalnya mendapat tantangan yang cukup keras dari
kalnagn masyarakat yang masih menganut tatanan masyarakat ortodok. Setelah
melalui debat yang cukup panjang dan melelahkan, penuturan tetang perlu adanya
perubahan sikap mengenai masalah gender mulai diangkat. Hal ini terjadi, bahkan
di Negara sebesar dan seliberal Amerika, setelah melalui proses lobi yang berlangsung
puluhan tahun. Akhirnya kongres memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan yang
tertuang dalam pasal IX pada tahu 1972. Pasal ini mengatur sesuatu yang secara
spesifik diarahkan pada pengesahan dan perlindungan terhadap kaum wanita yang
berpartisipasi dalam setap kegiatan. Secara tersurat aturan tersebut kurang
lebih berbunyi ; “Setiap orang (tanpa memperhatikan jenis kelamin) memiliki
kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
Hadirnya pasal ini mendapat tantangan cukup keras,
terutama muncul dari kaum pria yang mengelola program di sekolah. Banyaknya
kejadian yang bertolak belakang dengan isi pasal tersebut kerap mengakibatkan
peanggaran hak asasi bagi kaum wanita yang tidak mendapatkan penyelesaian dari
pemerintah. Dan sebagai konsekuensinya hamper 800 kasus pelanggaran dalam pasal
tersebut di lingkungan departemen pendidikan tidak pernah diusut (Sabo 1988).
Perjuangan keras dari segelintir politisi yang
peduli pada kaum wanita di Kanada memicu terbentuknya perkumpulan olahraga
amatur kaum wanita pada tahun 1980. Enam tahun kemudian publikasi yang
menyoroti kehidupan kaum wanita dalam dunia olahraga mulai banyak diedarkan.
Bergulirnya kebijakan yang menerima persamaan hak dan kesempatan bagi kaum
wanita untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan olahraga, menjadikan Negara
Kanada sebau Negara Barat pertama yang membuka peluang besar bagi kaum wanita
untuk terjun bebas dalam aktifitas
olahraga.
4.
Perkembangan
Keterlibatan Wanita dan Olahraga
Gagasan bahwa kaum wanita memiliki kesempatan dan
kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki mendorong kaum wanita dar segala
tingkat dan kalangan untuk lebih berpartisipasi dan menunjukan kemampuannya
dalam kegiatan olahraga (Fleskin, 1974). Adanya perubahan tatanan budaya dalam
kehidupan masyrakat, ditandai dengan mulainya pemberian nilai yang sama antara
anak laki-laki dan anak perempuan dalam olahraga. Olahraga bukan dijadikan
sebagai alat untuk mengeliminir kekurangan yang selama ini dijadikan landasan
perbedaan kemampuan fisik.
5.
Kesehatan
dan Kebugaran Jasmani
Meningkatkan kesadaran akan perlunya kesehatan dan
kebugaran jasmani menjelang pertengahan 70-an mendorong kaum wanita untuk
mengambil bagian dalam aktifitas fisik, termasuk olahraga. Tujuan yang ingin
digapai melalui keikutsertaan tersebut awalnya masih dikaitkan dengan segi
keindahan fisik (beauty youthfull) dan kemudian mulai beranjak pada keinginan
untuk memiliki tubuh yang indah dilenfjapi dengan kekuatan otot, bahkan mulai
bergeser pada hasrat untuk mengembangkan tubuh untuk menjadi lebih besar, atau
dengan kata lain olahraga oleh sebagian besar remaja putri dipakai sebagai alat
untuk menampilkan diri menjadi lebih ‘maskulin”. Kecenderungan hanya tubuh
feminism yang layak dijadikan model untuk mempromosikan baju oleh para desainer
mulai beralih pada tubuh yang sedikit maskulin merupakan objek yang cukup
menarik untuk dijadikan ‘pajangan’ oleh stiap desainer.
Tatanan budaya yang terjadi di masyarakat pada
akhirnya turut mengubah pola hidup berolahraga bagi kaum wanita. Bermunculannya
kesadaran para orang tua, serta adanya kelapangan dari kaum laki-laki untuk
mengakui eksistensi wanita menjadi dasar signifikan yang mengiring sebagian
besar anak perempuan untuk lebih banyak mengambil kesempatan melakukan kegiatan
dalam berbagai cabang olahraga.
Keengganan serta harapan bahwa wanita hanya mampu
dan pantas memilih cabang-cabang tertentu saja semakin luntur dan bahkan pada
beberapa cabang olahraga keras, seperti sepak bola dan bela diri mulai diminati
kaum wanita.
Perubahan Struktur
dikaitkan dengan Gender
Olahraga kerap dipakai sebagai alat untuk menunjukan
kelebihan kaum lai-laki dibandingkan kaum wanita. Pergeseran nilai yang terjadi
pada kaum wanita belum sepenuhnya bmensejajarkan kaum wanita dengan kaum
laki-laki. Hambatan di bidang ekonomi, politik, dan bahkan budaya masih kerap
dijumpai. Pada kenyataannya kaum laki-laki masih mendominasi dan memegang
kendali pada setiap organisasi yang seharusnya melibatkan kaum wanita. Satu
contoh yang sederhana yang bahkan sampai saat ini masih berlangsung, adalah
adanya beragam permintaan yang masih melemahkan kaum wanita. Orang kerap
menyatakan kalau anak laki-laki melakukan teknik gerakan yang salah, maka serta
merta akan keluar komentar “pukulannya/lemparannya lembek seperti
pukulan/lemparan anak perempuan” namun sebaliknya bila ada anak perempuan yang
melakukan suatu gerakan yang bagus, maka komentar yang keluar adalah “Pukulan
dan lemparannya hebat seperti anak laki-laki”. Pernyataan sekecil ini
sesederhana ini pun disadari atau tidak tetap saja mengindikasi bahwa sampai
saat ini, kekuatan dan kehebatan masih tetap identik dengan kaum laki-laki dan
sebaliknya kelemahan dan kekurangan menandakan itulah kehidupan kaum wanita
yang sesungguhnya.
Sosiolog Nancy Theberge (1984) mengatakan bahwa
perubahan mendasar yang terjadi secara progresif, dikaitkan dengan kaum wanita
menunjukan jati diri melalui kegiatan olahraga, merupakan paspor bagi kaum
wanita untuk memasuki bidang pekerjaan yang lebih luas. Rambahan bidang
pekerjaan yang selama ini dianggap lahan kaum laki-laki mulai digarap oleh kaum
wanita.
Sangat menarik bahwa perubahan kesetaraan gender
pada kenyataanya belum bisa diterima bila dikaitkan dengan agama. Satu contoh,
Iran hanya mengirimkan atlet putra untuk mengikuti Olympiade di Seoul pada
tahun 1988 sebagai akibat dari tekanan
publik terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga dikaitkan dengan agama. Masa
simana hamper semua makhluk di dunia sudah tidak memperdulikan lagi perbedaan
gender ini, nampaknya masih sulit diterima oleh agama yang masih berbasis agama
yang sangat kental.
Satu tulisan sederhana yang penulis kutip dari bukub
creativity-nya Prof.DR Utami Munandar menginformasikan bahwa tidak sedikit anak
perempuan berbakat namun nyatanya tidak mampu berprestasi dengan baik.Tinjauan
perbedaan antara kaum laki-laki dengan kaum wanita beranjak dari perbedaan
biologis, social budaya, dan kemampuan. Jabaran lain mengiringi pada adanya
keyakinan berkenaan dengan perbedaan dalam harapan, orientasi, prestasi yang
meliputi harapan keluarga teman sebaya dan sekolah.
Beberapa Perbedaan
(Rujukan Utami Munandar)
1.
Perbedaan Antar Jenis Kelamin
Perbandingan perbedaan biologis versus social-budaya
antar jenis kelamin merupakan dasar yang baik untuk menentukan sejauh mana
prestasi dibawah potensi dariperempuan daoat diubah. Proporsi perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis dapat dipandang sebagai pembatasan
prestasi potensial dari perempuan berbakat. Bagaimanapun perbedaan jenis
kelamin yang berkaitan dengan norma social-budaya, stereotip, bias dan diskriminasi
dapat diubah, dan dapat diubah, dan di koreksi dari masalah ini membebaskan
perempuan untuk berprestasi setara dengan pria.
a.
Perbedaan
Biologis
Velle (1982) meninjau berbagai penelitian mengenai
perbedaan perilku antar jenis kelamin denmgan dasar biologis, perbedaan yang
mungkin dapat membatasi prestasi perempuan. Meskipun beberapa dari penelitian
tersebut berdasarkan perilaku hewan, namun beberapa juga melibatkan perempuan.
1.
Tingkat
Aktifitas Fisik
Velle
menjelaskan aktifitas fisik pria yang lebih tinggi karena pengaruh hormone di
dalam otak selama perkembangan janin. Kebanyakan penelitian yang dikutip
melibatkan hewan, dan hanya satu penelitian
yang melibatkan manusia (Restak, 1979) menunjukan bahwa hiperkinesis
(tingkat aktifitas fisik yang abnormal tinggi) lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dari pada anak perempuan . Memang hiperaktifitas yang menyertai
sekitar 50% dari ketidakmampuan belajar anak di sekolah sebagian besar
ditemukan anak laki-laki.
2.
Agresi
Masih
penelitian yang dikutip dari Velle (1980) menginformasikan bahwa beberapa studi
dengan hewan dimana hormone jantan testoreon dihubungkan dengan agresi. Ia juga
mengemukakan studi dengan manusia yang menunjukan anak laki-laki menampilkan
lebih banyak perilaku agresif daripada anak perempuan. Satu studi yang menarik
melaporkan hasil pemberian hestrogen sintesis (hormone perempuan ) kepada
wanita hamil yang menderita penyakit gula, ternyata anak laki-laki mereka
secara nyata menunjukan perilaku yang kurang agresif pada umur 16 tahun
dibandingkan perilaku anak laki-laki 16 tahun dari ibu normal dan ibu diabetes
yang tidak mendapatkan hormone.
3.
Perbedaan
Dominasi Belahan Otak
Dalam
tiga dasawarsa terakhir banyak penelitian yang dilakukan mengenai spesialisasi
belahan otak yang kiri untuk bahasa, kemampuan verbal dan berpikir logis
sekuensial. Sedangkan belahan otak kanan memiliki unjuk kerja berkenaan dengan
kemanpuan spasial dan kemampuan nonverbal lainnya. Dugaan tentang kemampuan
yang tidak berkaitan dengan perbedaan
seks berdasarkan penggunaan yang lebih khusus dari salah satu belahan otak
sangat kontrofesial dan tidak didukung oleh data penelitian yang akurat. Namun
beberapa peneliti menemukan bahwa dominasi yang kuat pada belahan otak kanan
pria, menghasilkan kemampuan special yang lebih tinggi. Sebaliknya Buvvery dab
Gray (dalam rimm, 1985) menekankan bahwa perkembangan bilateral yang lebih baik pada pria, yakni
perkembangan yang seimbang dari belahan otak menyeModulkan kemampuan special
yang lebih unggul pada pria.
Camillebandel
(dalam rim, 1985) menyimpulkan bahwa kemampuan verbal yang lebih unggul pada
wanita dan kemampuan wanita dan spasial yang lebih unggul pada pria berkaitan dengan
fungsi hemisfer yang drifensial, dan perbedaan itu bersifat genetis.
Durden-Smith
dan Desinine (1982) merinci beberapa perbedaan biologis yang nyata antara kedua
jenis kelamin yang menunjukan perempuan nyata tampak unggul secara fisik, dan
social yaitu:
·
Pria lebih mungkin
menunjukan kelainan seksual dan menjadi psikopat.
·
Perempuan lebih kuat
dalam kemampuan ferbal dan komunikasi, tetapi lebih banyak ,enderita phobia dan
depresi.
·
Lebih banyak pria pada
kedua ujung, spectrum intelektual, jenius dan retradasi mental.
·
Lebih banyak pria
mendapat serangan jantung, karena testoteron meningkatkan kolestrol dan
mengeraskan arteri.
·
Anak perempuan
berkembang lebih cepat.
b.
Perbedaan
Sosial-Budaya
Dari
studi-studi tentang perubahan peranan perempuan didalam masyarakat diperoleh
data bahwa banyak perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak memiliki
perbedaan biologis. Sejak lahir anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan
berbeda, bahkan sebelum lahir. Begitu orang tua mengetahui bahwa bayi yang akan
lahir perempuan atau laki-laki, mereka membuat persiapan yang sudah membedakan;
kamar biru untuk anak laki-laki dan kamar merah jambu untuk anak perempuan.
Dalam
mengembangkan sex-role inventory, Bem (1974) merinci karakteristik stereotip
dari anak laki-laki dan perempuan.yang menarik adalah bahwa karakteristik yang
dianggap “maskulin” juga khas untuk orang-orang yang berhasil, seperti misalnya
keagresifan, ambisius, kemampuan analisis, keasertifan, daya saing, kemampuan
memimpin, kemandirian dan percaya diri. Karakteristik yang dianggap “feminine”
ialah yang berhubungan dengan peran mengasuh dan merawat atau dengan pekerjaan
yang didominasi peempuan, seperti; kasih sayang, rasa kasihan, kelembutan,
sayang anak, malu-malu, pemahaman dan kehangatan.
Cirri
jenis kelamin yang stereotip diperkuat lebih lanjut oleh buku pelajaran,
perpustakaan, dan media. Anak-anak digiring dengan bacaan yang mengatributkan
stereotip peran jenis kelamin. Ada buku khas untuk anak perempuan dan buku yang
diperuntukan bagi anak laki-laki. Dalam lakon film dan televisi karakter pria
digambarkan dengan sangat aktif, agresif dan sebagai pemimpin atau penguasa,
sedangkan karakter perempuan kebanyak digambarkan sebagai lemah lembut,
memerlukan bantuan menurut dan jarang sebagai pemimpin atau pengambil
keputusan. Iklan komersial ternyata efektif dalam mempengaruhi anak-anak dalam
memnerima peranan perempuan yang tradisional atau nontradisional.
c.
Perbedaan
dalam Kemampuan
Dari
berbagai penelitian mengenai perbedaan kemampuan pada kedua jenis kelamin, pada
umumnya diperoleh hasil bahwa anak perempuan melebihi anak laki-laki dalam
kemampuan verbal, berpikir divergen verbal, dan dalam kecerdasan umum.
Sedangkan anak laki-laki melebihi kemampuan anak perempuan dalam kemampuan
kuantitatif dan visual special (Stanley, 1983). Disamping itu anak perempuan
pada umumnya mencapai nilai lebih tinggi pada tes prestasi, lebih sedikit
mengulang kelas dan kurang menimbulkan masalah dalam kelas. Hal ini mungkin
berkaitan dengan sifat ketergantungan mereka, konformitas dan keinginan untuk
menyenangkan orang lain.
Bagaimanapun
dalam satu studiyang dilakukan pada tahun 1977 di Jakarta (Perkotaan) Dan
Cianjur (pedesaan) terhadap siswa Sd dan SMP tidak ditemukan perbedaan yang
nyata antara anak laki-laki dengan anak perempuan pada tes intelegensi,
kreativitas, daya ingatan dan prestasi sekolah. Anak laki-laki dan anak
perempuan setara pada semua perubahan tes (Utami Arismunandar, 1999). Penelitian
semacam ini pernah juga oleh Badan Pendidikan dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan (BP3K) pada tahun 1975 dan merekomendasi hasil yang sama. Beberapa
mahasiswa fakultas psikologi Universitas Indonesia belum lama ini meneliti hal
serupa dan menunjukan hasil yang sedikit berbeda, yakni skor anak laki-laki
dalam hal kreatifitas sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan.
d.
Kemampuan
Matematika
Sering diperdebatkan apakah pria lebih unggul
dibandingkan perempuan dalam kemampuan matematika. Jika kemampuan lelaki dan
perempuan masih sama pada tingkat sekolah dasar, tetapi mulai umur 12013 tahun
anak laki-laki mulai menampilkan keunggulan. Menurut Janson (1982) kemampuan
pria dalam visual-spasial yang penting buntuk matematika, mempunyai dasar
genetis. Namun beberapa pakar berpendapat bahwa terhadap alasan biologis dari
Janson, ada argument banding yang menekan bahwa kemampuan matematika mempunyai
dasar cultural. Kalaupun pria lebih unggul kemampuan matematika daripada
perempuan, hal ini sebagian dapat dijelaskan dengan harapan atau tuntutan orang
tua dan guru.
2.
Perbedaan
Harapan, Orientasi Prestasi dan Aspirasi
Harapan keuarga, sekolah, dan teman sebaya tidak
mendorong orientasi, prestasi tinggi dan kemandirian diri pada anak perempuan.
Tekanan-tekanan ini dapat mengalahkan perempuan ke aspirasi yang rendah, yang
sebaliknya mengakibatkan prestasi dibawah taraf kemampuan.
a.
Harapan
Keluarga
Aspirasi
pendidikan dan karir yang tinggi dimulai didalam keluarga baik contoh peran
oleh ibu maupun harapan ayah berpengaruh terhadap orientasi anak perempuan.
Percontohan karir ibu memotivasi anak perempuan untuk mempunyai aspirasi
pendidikan dan karir yang tinggi. Namun mengenai pilihan bidang karir ternyata
tidak ada dampak dari karir ibu atau ayah terhadap pilihan karir anak
perempuan. Harapan ayah terhadap anak perempuan mereka juga dapat mempengaruhi
prestasi perempuan . hararapan ayah terhadap anak perempuan berdasarkan
stereotip peran jenis kelamin yang dominan ternyata mempunyai dampak negative
terhadap anak perempuan.
b.
Harapan
Teman Sebaya
Sejak
masa awal remaja dan kadang-kadang sebelumnya, teman sebaya mempunyai peranan
yang kuat terhadap orientasi prestasi. Karena intelegasi dan prestasi tinggi
dipandai sebagai karakteristik pria, anak perempuan mempunyai resiko dianggap
tidak feminine jka mereka terlibat pada prestasi sekolah. Pada perguruan tinggi
pilihan karir perempuan lebih dipengaruhi oleh teman sebaya daripada orang tua,
terutama teman sebaya pria. Perempuan lebih condong untuk memilih bidang studi
yang non-tradisional jika didorong oleh teman pria. Menurut Horner (1972)
perempuan cenderung lebih menekan prestasi tinggi dan keberhasilan karena takut
gagal sebagai perempuan. Perempuan yang mendapat dorongan karir dari teman pria
mereka kurang mengalami ketakutan akan sukses ini.
c.
Harapan
Sekolah
Dari
taman kanak-kanan ke atas ada kecenderungan sekolah yang menghambat orientasi
prestasi perempuan beberapa penelitian menemukan perlakuan yang berbeda dari
guru terhadap anak laki-laki dan perempuan di 15 taman kanak-kanak (Rimm 1985)
anak laki-laki lebih banyak didorong untuk bekerja sendiri daripada anak
perempuan. Guru memberi perhatian yang banyak terhadap anak laki-laki daripada
terhadap anak perempuan. Konselor sekolah lebih banyak memberi saran kepada
anak perempuan, bahwa mereka memerlukan waktu untuk kehidupan social mereka dan
bahwa sebaiknya mereka tidak memilih studi matematika dan sains. Jadi sejak
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, banyak guru dan konselor secara
tersirat dalam tindakan mereka tidak member dorongan kepada perempuan untuk
mengembangkan bakat mereka sama seperti pria.
d.
Harapan
Diri
Aspirasi
dan orientasi perempuan jelas berubah. Perubahan ini harus mencakup perubahan
persepsi diri dan harapan diri. Jika anak perempuan hendak meningkatkan talenta
dan sumbangan terhadap masyarakat, mereka harus mempunyai kepercayaan dan
kebutuhan akan prestasi yang kuat, dan mereka harus membuat rencana untuk suatu
pendidikan yang mantap. Penelitian menunjukan adanya empat factor penting yang
tampaknya berkaitan dengan harapan diri. Dan aspirasi yang lebih rendah dari
perempuan;
·
Rasa kompetisi yang
lebih rendah.
·
Kecenderungan melihat
seModul kegagalan pada diri sendiri dan keberhasilan pada factor eksternal.
·
Motivasi prestasi yang
lebih rendah.
·
Sindroma “takut dan
sukses”.
Factor tersebut saling berkaitan dan bersama-sama
mengurangi kemungkinan bagi perempuan memiliki profesi yang lebih ‘menantang’.
Wanita dalam Renungan
Teologis (disarikan dari Nasaruddin Umar, 2000)
Dukungan terhadap
masyarakat laki-laki dengan mengacu pada teoridan konsep ilmu social merupakan
kaum perempuan dalam posisi marginal. Ungkapan phytagoras yang menyatakan bahwa
“man is the measure of all things” atau dengan kata lain, laki-laki menjadi
ukuran sesuatu, kenyataan masih dirasakan sampai saat ini.
Teori structural-fungsional yang
mendukung konsep pembagian kerja secara seksual, masih tetap actual meurut
kajian sosiologi dalam antropologi masih kental dirasakan, kaum laki-laki
memiliki otoritas yang jauh lebih kuat dibandingkan kaum perempuan. Kajian ilmu
ekonomi masih mengisyaratkan bahwa produktivitas yang mampu dilakukan kaum
laki-laki jauh lebih kuat, seangkan kesan kaum perempuan sebagai makhluk
reproduksi juga masih terasa gaungnya sampai saat ini.
Asumsi tentang perempuan sebagai the
second creation dan the second sex dalam sajian teologi pun masih tetap
dipertahankan. Kamu wanita sebagai objek juga kerap kali dirasakan dengan
hadirnya beraga teknologi yang mengarahkan perempuan sebagai objek. Satu contoh
sederhana adalah hadirnya alat kontrasepsi (KB) lebih banyak diciptakan dan
diperuntukan kepada kaum perempuan.
Gagasan tentang pendidikan
bersperspektif gender patut dikaji
melalui pendidikan agama. Dalil untuk menolak kesetaraan gender nampaknya cukup
efektif dengan hadirnya dalil-dalil agama yang dijadikan argumentasi kuat bagi
sebagian kelompok. Tidak sedikit dalil agama yang dijadikan tameng untuk
mempertahankan posisi perempuan di wilayah domestic. Pemahaman agaman yang
mengendap dan berakar dibawah alam sadar perempuan yang berlangsung sekian
lama, melahirkan seolah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan kaum
laki-laki. Sebagai bahan kajian berikut ini satu cuplikan tetang wanita dari
dimensi agama, turut diangkat sebagai bahan renungan dari sisi teologi.
Dari dimensi teologis, menarik untuk
disimak berkenaan dengan factor signifikan yang penyeModul perempuan tergiring
dalam stereotip yang cenderung melemahkan dan menghantarkan pemahaman, bahwa
kaum perempuan berada di dalam posisi “lebih rendah” dibandingkan dengan kaum
laki-laki. Silsilah terciptanya Hawa yang ditunjukan untuk melengkapi hasrat
dan keinginan Adam di surge yang dinyatakan dalam kitab kejadian / 2 : 18,
bahwa penciptaan Hawa sebagai “ehelper suitable for him (Adam)”, memiliki
konotasi bahwa hanya berfungsi sebagai pelengkap swehingga laki-laki dapat
lebih leluasa mengekspresikan hasratnya melalui kehadiran kaum
perempuan.pernyataan lain berkenaan dengan asal usul Hawa yang lahir berasal
dari tulang rusuk Adam (Kitab Kejadian 21-23) mengakibatkan munculnya pemahaman
bahwa perempuan hanya sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Implikasi dari
asal usul ini mengakibatkan peranan perempuan menjadi sangat kecil dan “kurang
berharga”, dan hal itu semakin menggiring perempuan pada keadaan yang lebih
terpuruk lagi. Lebih jauh dinyatakn bahwa Adam terusir dari Surga diakibatkan
oleh godaan kaum Hawa (Kitab Kejadian 3;12). Ilustrasi tentang adanya ‘buah
khuldi’ menjadi legenda cukup dikenal dan dipahami sebagai satu kenyataan
predikat lain yang melekat pada perempuan sebagai makhluk penggoda.
Lebih jauh dinyatakan pula tentang hukuman yang
harus diterima oleh Hawa sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan Hawa
terisrat dalam kitab Talmud (Erufin 100b), yang menyatakan bahwa secara
keseluruhan kaum perempuan akan menanggung beban penderitaan, yakni ;
1. Perempuan
akan mengalami siklus menstruasi yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh
Hawa.
2. Perempuan
yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
3. Perempuan
akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya,
4. Perempuan
akan merasa malu terhadap dirinya sendiri.
5. Perempuan
akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6. Perempuan
akan merasa sakit ketika melahirkan.
7. Perempuan
tidak boleh berpologami.
8. Perempuan
masih merasakan hubungan seks lebih lama, sementara suaminya sudah tidak kuat
lagi.
9. Perempuan
sangat berhasrat untuk melakukan hubungan seks, tapi enggan menyatakannya.
10. Perempuan
lebih suka tinggal di rumah.
Implikasi terhadap
Pengembangan Wanita dalam Olahraga
Pengkajian keberadaan kaum wanita dari sisi teologis di
masa lampau tersebut, sampai saat ini masih menyisakan dampak kurang
menguntungkan bagi kaum wanita khusunya dalam keterlibatannya dalam dunia
olahraga yang identik dengan kaum laki-laki. Indikasi kuat semakin terasa
terutama yang terjadi di Negara-negara berbasisi agama, dimana tidak kurang
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat masih terasa membelenggu
kebebasan kaum perempuan untuk melakukan kegiatan olahraga.
Telaahan teologis dalam tulisan ini
masih sangat sempit, dimana pengungkapan sejarah lebih banyak di fokuskan pada
beberapa pernyataan dan fakta yang secara spesifik hanya mengulas tentang
bergabai kendala yang dialami kaum perempuan sebagai akibat adanya konsep
tentang perempuan dari kajian teologis yang menghantarkan stigma negative bagi
kaum perempuan. Sementara kajian yang mengungkap tentang kedudukan dari dimensi
agama lain belum ditelaah lebih mendalam, dan ini merupakan bahan renungan lain
yang bisa menghantarkan tulisan lebih lengkap dan seimbang.
MODUL 7
OLAHRAGA DAN EKONOMI
Oleh:
Alen
Rismayadi
Semua orang telah mengetahui bahwa olahraga sangat
bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Namun dibalik manfaat tersebut, juga
memiliki peluang bisnis yang menjajikan. Apalagi kalau kita lihat minatdan
antusiame masyarakat Indonesia terhadap olahraga baik nasional maupun
internasional sudah sangat tinggi.
Olahraga berfungsi sebagai media promosi dan
kampanye pemasaran, baik itu menjadi ajang sasaran, pasar maupun sebagai
komoditip.
Peningkatan partisipasi olaharaga hingga 25 % (angka
semula 33 % dari prnduduk yang secara regular malakukan olahraga) dapat mengurangi
biaya kesehatan sekitar $ 778 juta dolar atau sekitar 6,6 trilyun rupia. Fakta
lain juga menunjukkan bahwa olahraga juga memiliki konstribusi yang signifikan
pada upaya mengurangi pengangguran.
Olahraga Sebagai
Penghasil Devisa
Olahrga yang telah dirancang sebagai
industri modern yang berskala global, terbuktikan telah menjadi lokomotif atau
multiplier effect terhadap tumbuhnya kegiatan bisnis baru, misalnya pariwisata, tempat hiburan,
perhotelan, restoran, pengembangan usaha kecil terutama makanan dan minuman.
Sehingga pada akhirnya itu semua dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Penyelenggaraan
Kegiatan Olahraga
Olympiade Los Angeles merupakan
olympiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi melalui sport
business.
Dalam banyak kasus memang kita
jumpai bahwa Negara yang secara ekonomi maju, maka perkembangan olahraganya
juga mengalami kemajuan yang sangat berarti.
Keterkaitan Olahraga
dan Ekonomi
Kalau kita menganalisis olahraga
secara komprehensip maka olahraga memiliki keterkaitan dengan ekonomi. Fakultas
ekonomi universitas Indonesia juga sedang mengembangkan suatu ilmu yang
berkonsentrasi dalam bidang manajemen olahraga.
Strategi Manajemen
Pemasaran Olahraga
Strategi adalah pemasaran merupakan
proses perencanaan dari menejer dalam membangun dan mengawasi gangguan terhadap
organisasi tujuan dan sumber penghasilan serta kemungkinan kesempatan pasar.
Dalam perencanaan strategis dari
manajemen pemasaran, kita dapat membahas tugas perencanaan strategis dari
setiap manejer unit bisnis. Proses ini terdiri dari delapan langkah, seperti
tertera dibawah ini:
1. Misi
Bisnis
2. Analisis
Lingkungan Eksternal (Analisis Peluangan dan Ancaman)
3. Analisis
Lingkungan (Analisis Kekuatan dan Kelemahan
4. Formulasi
Tujuan
5. Formulasi
Strategi
6. Formulasi Program
7. Pelaksanaan
8.
Umpan Balik dan
Pengendalian.
MODUL 8
OLAHRAGA DAN KELOMPOK
Oleh
:
Bambang
Erawan, M,Pd
(
Diadaptasi dari Prof. Dr. H. Supandi )
Dalam hal ini LOY
(1968) seorang sosiolog olahraga terkenal membataskan “sport” (olahraga)
sebagai berikut : “… to define sport as any highly organized game requiring physical
prowess”. Sedangkan game itu sendiri dibataskan sebagai berikut : “ A game we
define as any form of play full competition whose autcome is determined by
physical skill strategy or change employed singly or in combination”. Nampaknya
pola pikir tersebut di atas itu masih relevan dipergunakan untuk menganalisis
olahraga sebagai suatu kegiatan social. Yang dimaksud dengan permainan disini
ialah kegiatan yang mempunyai karakteristik tertentu yang antara lain :
kebebasan terbatas oleh ruang dan waktu, tidak produktif, mempunyai tatanan
yang nyata dan ketat. Sedangkan pertandingan ialah suatu perjuangan untuk
memperoleh keunggulan antara dua atau lebih dari dua pihak yang saling
berlawanan.
Kelompok Olahraga
1. Interaksi
berdasarkan pola jaringan individu diantara beberapa atau seluruh anggota
2.
Memperjuangkan satu
atau lebih tujuan bersama
3.
Perilaku dan sikap
anggota kelompok tunduk pada sistem norma dan nilai
4.
Mempertahankan pola
hubungan peran atau rolerelationship yang stabil
5. Membentuk
subkelompok berdasarkan jalinan daya tarik (kesenangan, keengganan)
A. Karakteristik
Kelompok
1. Efek
Sinergistik ( Synergistic effect )
Salah satu sifat
kelompok yang penting ialah sinergi, prestasi total anggota kelompok secara
bersama lebih besar dari pada jumlah prestasi anggota kelompok secara
terpisah-pisah. Contohnya : Suatu kelompok yang anggotanya berkemampuan atau
berprestasi cukup, maka prestasi secara bersama dalam kelompok dapat saja
mencapai prestasi yang berskala tinggi. Tugas pelatih dalam tim olahraga ialah
memadukan semua potensi asisten-asistennya dan para pemain menjadi efek total yang
sinergistik.
2. Persaingan
dan Kerjasama
Salah satu persoalan
yang sering menjadi topik bahasa sosiologi adalah persaingan atau sifat lain
yaitu kerjasama yang harus menjadi karakteristik kelompok olahraga. Ada
beberapa penelitian yang menunjukan kecenderungan bahwa kerja sama dalam
kelompok meningkatkan saling pengertian dan hubungan efektif (emosional),
perasaan yang lebih baik diantara sesama anggota tim. Kondisi dengan itu dapat
menimbulkan keterpaduan (integration) kepaduan (cohesiveness), dan hubungan
antar perorangan yang lebih akrab.
3. Keterpautan
( Cohesiveness )
Yang dimaksud dengan
keterpautan kelompok ini ialah tenaga atau kekuatan yang mendorong anggota
bergabung dalam kelompok yang menahan anggota keluar dari kelompok. Sering pula
pengertian keterpautan itu diartikan sebagai daya tarik kelompok. Pada dasarnya
dinyatakan bahwa keterpautan itu mempunyai hubungan yang erat dan nyata dengan
gejala-gejala lain dari kelompok seperti komunikasi, hubungan antar perorangan,
keseragaman tindak dan sebagainya.
Kategori
|
Batasan
|
Contoh
|
Bebas tidak bergantung
Ketergantungan
koaktif
Ketergantungan
reaktif-proaktif
Ketergantungan
interaktif
|
§ Untuk
meraih sukses tidak dituntut tindakan koordinatif pada anggota-anggotanya
§ Terdapat
persaingan langsung dan Nampak nyata diantara individu atau unit yang
mewakili organisasi
§ Prestasinya
bersifat individual yang secara langsung dan resmi diukur, diakui dan diberi
hadiah
·
Tindakan perorangan itu diawali dan
dikendalikan oleh faktor luar dan tidak oleh sesamanya
·
Anggota melakukan tugas yang sama dan
serentak
·
Penampilan kolektif sangat berpengaruh
terhadap efektifitas tim
§
Ketergantungan proaktif, seorang
anggota mempunyai kuasa memulai tindakan, tetapi apabila seluruh anggota
telah menyelesaikan tugasnya
§
Ketergantungan rektif, seseorang dapat
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya setelah tugas posisi selesai
·
Setiap individu saling tergantung satu
sama lainnya
·
Terjadi hubungan dua arah
·
Interaksi yang terus menerus
meningkatakan kemungkinan tim meraih sukses
|
ü
Bowling
ü
Panahan
ü
Atletik
ü
Renang perorangan
ü Mendayung
ü
Baseball
ü
Softball
ü
Pitcher
ü
Bola basket
ü
Hockey
ü
Sepak bola
|
Carron mengemukakan tiga prosedur pembinaan
keterpaduan melalui peningkatan koordinasi. Secara garis besarnya dikatakan
sebagai berikut :
1. Koordinasi
melalui standardisasi
2.
Koordinasi melalui
perencanaan
3. Koordinasi
melalui penyesuaian
B.
Interaksi
antara Pelatih dan Olahragawan
1. Pengertian
interaksi
Di bagian terdahulu
telah dikemukakan tentang interaksi ini sebagai hubungan timbal balik antara
dua individu. Lebih jauh juga dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan
hubungan timbal balik antar dua atau lebih individu yang perilakunya saling
bergantung.
a. Interaksi
komplimeter
Schutz adalah tokoh
yang beranggapan bahwa manusia mempunyai berbagai kebutuhan. Namun kebutuhan
pokoknya adalah orang butuh orang. Kebutuhan perseorangan, dapat dipenuhi
melalui prilaku inklusi (inclusion) pengendalian (control) dan afeksi
(affection). Inklusi adalah segala perbuatan berhubungan dengan hubungan,
komunikasi, dan kemitraan.
b. Interaksi
Sistemik
Teori Getzel dan Guba
(1957) yang menyatakan bahwa perilaku social adalah interaksi antara dua
dimensi organisasi yaitu nomotetik dan ideografik Nomotetik adalah dimensi
organisasi yang menciptakan lembaga, peranan dan persyaratan terhadap individu
yang memegang peranan-peranan yang telah diciptakan. Perilaku yang ideal adalah
perilaku yang efektif sebagai anggota lembaga dan diri pribadi adalah interaksi
yang saling memberi dan menerima antara individu dan lembaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar