Senin, 28 Januari 2013

sosiologi olahraga



Modul 1
PERKEMBANGAN DAN OBJEK STUDI SOSIOLOGI OLAHRAGA
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli Lutan

Sosiologi olahraga (sport sociology) merupakan sebuah subdisiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya, mulai tumbuh sekitar tahun 1950-an, dan mulai berkembang pada tahun 1960-an sebagai sebuah disiplin ilmu yang makin popular. Di Indonesia, subdisiplin ilmu keolahragaan ini baru mulai menjadi perhatian, dalam lingkup terbatas, kedalam kurikulum lembaga pedidikan tinggi di bidang keolahragaan pada awal 1980-an. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih sangat muda, pendekatan dalam pengembangan batang tubuh keilmuannyapun masih dalam fase embrio. Karena itu, pendekatan fenomenologis atau ethnografis yang sering juga disebut pendekatan naturalistic menjadi rujukan utama.
Kedudukan Sosiologi Olahraga
Di antara ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan yang dianggap telah mapan perkembangannya, sosiologi olahraga termasuk kedalamnya. Ke-7 subdisiplin ilmu keolahragaan itu meliputi sport medicine, sport biomechanics, sport psychology, sport sociologi, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Sosiologi olahraga mula-mula tumbuh dengan meminjam konsep sosiologi. Cangkokan konsep dari “disiplin induknya” itu kemudian berkembang dengan memanfaatkan “bahan mentah” dari pengalaman secara empirik mengenai aktivitas olahraga yang dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.
Masalah yang dibahas di sekitar isu olahraga dalam kaitannya dengan system Sosial-budaya, analisis olahraga sebagai sebuah system sosial dengan struktur yang ada di dalamnya, seperti faktor usia, norma dan nilai, pranata sosial (keluarga, sekolah, komunikasi massa, ekonomi), olahraga dan agama, isu waktu senggang, peranan kelompok minoritas, pendidikan jasmani dan olahraga dalam konteks budaya majemuk, kenakalan remaja dan olahraga. Masalahnya mencakup isu makro seperti gerakan olympiade, kedudukan olahraga dalam pembangunan nasional, gerakan olahraga massal (sport for all), olahraga dan wanita, olahraga dan kekerasan, olahraga dan lingkungan hidup, kelembagaan dan nilai-nilai olahraga, olahraga dan kepahlawanan, aktor penonton, dan tema besar lainnya. Isu mikro kelembagaan olahraga dibahas tema seperti olahraga dan kekompakan, dinamika kelompok (kelompok kecil), budaya organisasi, dan tema lainnya dalam konteks kinerja organisasi dan anggotanya.
Fungsi Sosial Olahraga
Kerangka berfikir untuk menelaah fenomena sosial olahraga yang dikembangkan Nixon dan Stevenson sekitar 25 tahun yang lalu relevan untuk dibahas kembali. Kerangka berfikir ini memandang olahraga sebagai sebuah pranata sosial yang mengandung potensi untuk menjalankan beberapa fungsi yaitu fungsi sosial emosional, fungsi sosialisasi, fungsi integrative, fungsi politik, dan fungsi mobilitas sosial. Beberapa fungsi tersebut dapat disebut sebagai fungsi instrumental olahraga yang berpangkalan pada partisipasi dalam kegiatan itu.
Fungsi Instrumental
Survai yang dilaksanakan Prof. Lutan bersama-sama dengan rekan-rekan di FPOK IKIP Bandung, beberapa waktu yang lalu dengan sampel cukup besar (11.195 wanita dan 576 pria) yang terdiri atas anggota perkumpulan yang rajin berlatih senam atau aerobic, hasilnya cenderung mendukung kesahihan fungsi sosio-emosional olahraga yang berpangkal pada citra peningkatan kesehatan dan kebugaran jasmani, disamping keuntungan yang bersifat psiko-sosial seperti kian mampu mengendalikan diri, mengatasi setress, dan memusatkan perhatian, tidur kiat nyenyak, dan relasi sosial makin bertambah.
Proses sosialisasi dalam kerangka pendidikan via gerak insane itu pada dasarnya adalah proses pembelajaran keterampilan, sifat-sifat, nilai, sikap, norma dan pengetahuan yang dikaitkan dengan perilaku yang ada pada saat sekarang atau yang di antisipasi sesuai dengan peranan sosial (De Knop, 1996). Dua mekanisme yang berkaitan dalam fungsi sosialisasi yaitu adanya aspek pengukuh dan peniruan tokoh idola sebagai model. Ide tentang peranan unsur pengukuh, seperti kita tahu, merupakan penerapan dari teori operant conditioning dari aliran serba laku (behaviorisme), yakni adanya sanksi terhadap kepercayaan dan perilaku, baik positif maupun negative.
Fungsi integrasi olahraga berarti bahwa melalui olahraga dapat dicapai integrasi yang harmonis antara individu yang tadinya terpisah, teralienasi, atau terbuang dari lingkungannya. Melalui kegiatan berolahraga, proses identifikasi individu ke dalam situasi kolektif akan tercapai. Hal ini terjadi melalui dua macam mekanisme: pertama, melalui perasaan kental sebagai warga komunitas, seperti halnya terjadi pada sebuah tim kabupaten, tim provinsi, atau tim nasional. Mekanisme kedua yaitu melalui perasaan sebagai “orang dalam” dan “orang luar”. Integrasi terjadi karena kebulatan komitmen untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi politik olahraga merupakan perluasan dari fungsi integrative. Yang tampil adalah kesadaran sebagai satu negara dan kebanggaan terhadapnya, sehingga olahraga digunakan untuk menghasilkan identitas nasional dan prestise. Selama diterapkan paradigm revolusi multi-kompleks, semasa kepemimpinan Bung Karno, fungsi politik olahraga mencapai puncaknya, dan IOC termasuk Negara barat mengeritik hal itu sebagai politisasi olahraga. Realisasinya dalam bentuk sanksi atau penolakan kehadiran suatu Negara, seperti ketika Indonesia menolak mengundang Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta, dan sebagai akibatnya Indonesia kena sanksi yaitu tidak diperkenankan ikut dalam Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang.
Fungsi mobilitas sosial, terutama dari kalangan minoritas dan atlet yang tadinya berstatus sosial ekonomi rendah terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama, peningkatan prestise terkait dengan prestasi; dan kedua prestasi sosial plus ganjaran ekonomi.
Makna Ekspresi Olahraga
Makna ekspresif olahraga berpangkal pada pengalaman terlibat dalam kegiatan olahraga dan seseorang merasa mampu dan cakap. Termasuk di dalamnya adalah perasaan sukses atau mandiri yang kemudian menghasilkan penilaian diri yang positif yang diungkapkan dalam istilah self concept atau self esteem (Sachs, 1984; dalam De Knop,1996).
Melalui kegiatan olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk menyatakan dirinya atau melampiaskan ketegangan, seperti dikemukakan dalam fungsi Sosial-emosional di atas tadi. Hal ini mendukung teori Cartasis (Van der Gogten, 1988; dalam De Knop, 1996).
Makna Simbolik dari Olahraga
Simbol material dan non material, terutama bagi anak muda merupakan actor penting untuk membentuk identitas pribadi yang selanjutnya penting untuk membentuk self esteem. Simbol itu penting bagi seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang lain. Simbol material beraneka ragam seperti gaya potongan rambut, pakaian, sarana transfortasi, sedangkan symbol non material misalnya ungkapan verbal, sikap dan minat.
Makna Interaksi Sosial dari Olahraga
Partisipasi seseorang dalam olahraga memberikan kesempatan kepadanya untuk berafiliasi dalam kelompok atau berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Motif berafiliasi menjadi pendorong utama, terutama di lingkungan masyarakat yang telah maju dan individu merasakan suasana keterpencilan satu sama lain. Karena itu olahraga merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi pergaulan yang luas dan seseorang saling mengenal satu sama lain. Nilai silaturahmi dan persaudaraan amat kental dalam olahraga.









MODUL 2

LANDASAN ILMIAH OLAHRAGA

Diadaptasi dari :
Prof .Dr . H. Supandi


A.      Gerak Sebagai Kebutuhan Mendasar
       Apa sesungguhnya kebutuhan yang hakiki itu ? kebutuhan itu ialah gerak yang spesifik yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Gerak itu merupakan keniscayaan dan tergolong kebutuhan dasar seperti halnya makan dan minum. Karena bergerak manusaia mampu bertahan hidupdan melalui gerak itulah manusia mencapai beberapa tujuan seperti pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan sosial.

Apabila manusia menderita kekurangan gerak maka manusia akan mengalami berbagai kelainan fisik, mental, atau sosial. Kekurangan gerak yang di derita itu di sebut hipokinetik, atau penyakit kurang gerak. Kurang gerak ini sering timbul karena ulah manusia itu sendiri. Di sepanjang kehidupanya, manusia selalu berusaha agar hidup lebih nyaman dan lebih ringan. Dorongan ini menyebabkan kebudayaan berkembang, terutama teknologi yang maju pesat. Akibatnya ialah kehidupan manusia menjadi lebih ringan.

B.       Landasan Biolagik Gerak Insani

Secara alamiah manusia di ciptakan sebagai makhluk yang dinamik. Manusia mempunyai kemampuan gerak yang sangat besar. Hal ini karena struktur tubuh manusia yang bertumpu pada dua belah kaki dan titik beratnya yang tergolong tinggi. Kondisi ini memberikan kebebasan bergerak yang lebih luas dibandingkan dengan makhluk hidup lainya yang bertumpu pada empat kaki. Jelaslah manusia mempunyai potensi gerak yang lebih tinggi dan bahkan kian tinggi karena struktur kakinya yang berbentuk busur. Keadaan ini  memungkinkan manusia bergerak secara luwes dan bahkan dapat menghindari hentakan yang merugikan tubuh manusia.

Manusia sering menderita akibat kelemahan yang bertalian dengan aspek biologik. Seperti di kemukakan Barrow (1983), kelemahan biologik pada manuisa dirangkum sebagai berikut :

1.      Kebugaran jasmani yang rendah
2.      Penyakit hipokinetik
3.      Ganguan mental :

a.       Pengaruh gerak terhadap keselamatan umum otot dan jantung
b.      Pengaruh terhadap volume darah per denyut jantung
c.       Pengaruh terhadap frekuensi denyut nadi
d.      Pengaruh terhadap darah
e.       Pengaruh terhadap tekanan darah arteri
f.       Pengaruh terhadap butir-butir  darah merah
g.      Pengaruh terhadap
h.      Pengaruh terhadap penasaran


C.      Olahraga Ditinjau dari Aspek Kejiwaan
Mengapa manusia bergerak ? pertanyaan ini terulang kembali dan dapat ditelaah dari aspek kejiwaan. Manusia bergerak bukan saja karena secara biologik merupakan makhluk aktif, namun di dorong pula oleh motif lainnya. Di tinjau dari aspek kejiwaan, sumbangan yang bermanfaat dari kegiatan fisik menurut scoot (1960) secara garis besar sebagai berikut :

1.      Perubahan sikap mental
2.      Perbaikan efisiensi sosial
3.      Perbaikan persepsi sensoris dan reaksi berangkai
4.      Pembinaan perasaan sejahtera dan sehat
5.      Peningkatan relaksasi yang lebih baik
6.      Keringanan dalam masalah psikosomatik
7.      Perolehan keterampilan yang memadai


D . Olahraga Ditinjau dari Aspek Sosiologis

Olahraga bukan semata-mata kegiatan individu. Olahraga juga patut di pandang sebagai kegiatan sosial yang lestari. Olahraga yang berisi pertandingan atau kompetisi, yang mengandung unsur permainan dan terlembaga itu kian bermakna karena di laksanakan dalam kehidupan sosial.

Berkaitan dengan keterlaksanaan olahraga dalam latar belakang kehidupan sosial, maka olahraga mengandung tiga fungsi yaitu a) katarsis, b) pembelajaran, c) symbol atau lambang.

Namun sebaliknya, proses interaksi itu sering menjadi ajang pengembangan diri sebagai individu dan sebagai anggota kelompok. Selanjutnya perilaku sosial yang patut di bina pada anggota kelompok secara garis besar dikemukakan sebagai berikut :

1.      Kerja sama
2.      Persaingan, menjadi dua jenis yakni
a.       Kompromi
b.      Mengebawahkan (subordinating)\
c.       Memanfaatkan jasa penengaha
d.      Arbitrase
e.       Toleransi
f.       Gencatan senjata





Modul 3
ILMU KEOLAHRAGAAN DAN BEBERAPA ISU FILOSOFIS
Diadaptasi dari :
Prof. Dr. H. Rusli Lutan

Pertanda nyata berupa kemajuan di satu pihak dan kemunduran di pihak lainnya dalam dunia olahraga rupanya sudah mulai menjalar ke Indonesia. Keadaan ini telah terjadi pada tahun 1990-an di Amerika Serikat dan sudah pernah di ungkapkan pada abad ke 6 SM di yunani. Waktu itu, semangat Olympiade telah pudar. Pertandingan terlampau berlebih, dan hadiah yang paling di utamakan. Kegiatan dikelola dan diorganisasi dengan tekanan dan perolehan keterampilan dan prestasi.

A. Beberapa Konsep Dasar
Konsep ialah “mental-image” tentang suatu objek, atau makna yang tertangkap berdasarkan ciri-ciri umum yang terdapat pada suatu objek. Sebagai contoh, daya tahan adalah konsep yang kita jumpai dalam olahraga. Konsep itu kita pahami sebagai kemampuan untuk melakukan kerja fisik terus menerus tanpa kelelahan yang berlebihan. Kita juga akan menangkap makna dari suatu gejala, seperti misalnya kemampuan seseorang untuk mengangkat sejumlah kepingan besi. Segera kita mengatakan orang itu kuat. Dengan kata lain, konsep merupakan sebuah label yang bagi seperangkat ciri dari sebuah objek.

1.   Bermain
Bermain merupakan sebuah konsep. Berkaitan dengan hal ini, manusia di sebut mahluk bermain ( homo ludens ). Pernyataan ini tentu dikemukakan setelah orang memahami kecenderungan pola perilaku manusia pada umumnya. Rector Universitas Leyden, Johan Huizinga dalam bukunya yang terkenal Homo Ludens, (1950) mengupas hakekat bermain. Ciri utama dan pertama ialah bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara bebas dan sukarela. Namun kebebasan ini tak berlaku bagi anak-anak dan hewan, mereka bermain karena dorongan naluri. Lain halnya dengan orang dewasa, bermain merupakan kebutuhan sepanjang kesukaan untuk melakukannya merupakan kebutuhan. Ciri kedua yang bertalian dengan yang pertama tadi ialah bermain bukanlah kehidupan “biasa” atau yang “nyata”.
Ciri berikutnya ialah bermain memiliki tujuan yang terdapat dalam kegiatan itu dan tak terkait dengan perolehan atau keuntungan materi. Ciri inilah yang membedakan bermain dengan bekerja, meskipun pada akhirnya batas antara hal itu begitu tipis. Kesimpulannya ialah, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar, sukarela, tanpa paksaan dan tidak sungguhan dalam batas waktu, tempat dan ikatan peraturan. Menyertai kesemua ciri itu bermain menyerap ikhtiar yang sungguh-sungguh  dari pemainnya disertai ketegangan dan kesukaan untuk mencapai tujuan yang berada dalam kegiatan itu sendiri dan tidak berkaitan dengan perolehan materi.
a.      Agon
Jenis permainan ini mencakup semua bentuk permainan yang bersifat pertandingan atau perlombaan. Dalam pelaksanaannya, kedua pihak yang berlawanan memperoleh hak dan kesempatan yang sama. Karena itu, wasit yang mengatur jalannya pertandingan menjalankan tugasnya tanpa niat memihak. Tujuan akhir ialah mencapai kemenangan. Permainan tenis, bulutangkis, sepak bola, Dll, merupakan contoh dari permainan yang tergolong agon.

b.      Alea
Dalam bahasa latin kata ini digunakan untuk permainan yang menggunakan dadu. Caillois menggunakan istilah itu untuk menamakan sekelompok permainan yang hasilnya bersifat untung-untungan atau keberuntungan satu pihak. Permainan dadu, rule, bakarat, lotrre, dll, merupakan contoh yang mudah dipahami.

c.       Mimikri
Jenis ini mencangkup semua bentuk permainan yang mengandung ciri pokok permainan seperti yang dikemukakan Huizinga yaitu kebebasan, batasan waktu dan ruang, dan bukan sungguhan. Tersirat di dalamnya ilusi, imajinasi, dan intterprestasi. Semua jenis permainan anak-anak yang cenderung berperan pura-pura, seperti bermain perang-perangan, memanusiakan benda, dan memperlakukan satu objek dengan fungsi lain (misalnya, kursi sebagai mobil) tergolong jenis mimikri.

d.      Ilinx
Jenis ini mencakup semua bentuk permainan yang mencerminkan pelampiasan keinginan untuk bergerak, bertualang, dan dalam wujud kegiatan dinamis, sebagai lawan dari keadaan diam, stabil atau seimbang. Mendaki gunung, ilah raga di alam terbuka, permainan ayunan anak-anak, merupakan contoh dari kategori keempat.

2.      Pendidikan Jasmani
Khusus di lingkungan lembaga pendidikan di Indonesia kita mengenal Modulak sejarah penggunaan istilah yang bertalian dengan keolahragaan yaitu: (1) masa gerak badan (1945-1950), (2) masa pendidikan jasmani (1950-1961), (3) masa olahraga (1961-1966), dan sekarang (4) masa olahraga dan pendidikan jasmani (1978 hingga sekarang). Dalam literatur Barat pernyataan ini kita jumpai dalam kalimat singkat yang dikemukakan Kroll (1982), yaitu “physical education is education through, and not of, the physical”.
Suasana pendidikan itu secara nyata nampak dalam wujud rangsangan atau penyediaan pengalaman belajar Prof. Rijsdorp dalam gymnologi membagi pengalaman belajar yang bersifat mendidik ke dalam empat kelompok:
a.       Pembentukan gerak
1)      Memenuhi keinginan untuk bergerak
2)      Menghayati ruang, waktu dan bentuk, termasuk perasaan irama
3)      Mengenal kemungkinan gerak sendiri
4)      Memiliki keyakinan gerak dan perasaan sikap (kinestetik)
5)      Memperkaya kemampuan gerak
b.      Pembentukan prestasi
1)      Mengembangkan kemampuan kerja optimal melalui pengajaran ketangkasan
2)      Belajar mengerahkan diri untuk mencapai prestasi, misalnya dengan pembinaan kemauan
3)      Konsentrasi, keuletan
4)      Menguasai emosi
5)      Belajar mengenal keterbatasan dan kemauan diri
6)      Membentuk sikap yang tepat terhadap nialai yang terdapat dalam kehidupan
c.       Pembentukan social
1)      Mengakui dan menerima peraturan dan norma bersama
2)      Belajar bekerja sama, menerima pimpinan dan memimpin
3)      Belajar bertanggung jawab berkorban, dan memberikan pertolongan
4)      Mengembangkan pengakuan terhadap orang lain sebagai diri pribadi dan rasa hidup masyarakat
5)      Belajar mengenal dan menguasai bentuk kegiatan pengisi waktu luang secara aktif
d.      Pertumbuhan
1)      Meningkatkan syaraf untuk mampu melakukan gerak dengan baik dan berprestasi optimal
2)      Meningkatkan kesehatan atau kesegaran jasmani, termasuk kemampuan bertanggung jawab
3)      Terhadap kesehatan diri sendiri dan kebiasaan hidup sehat

3.      Rekreasi
Istilah rekreasi (recreation) sering di terjemahkan dalam kata “menciptakan kembali”. Itupun tak begitu jelas, seperti halnya “melepas lelah” karena dalam kenyataanya rekreasi juga mengandung makna ketegangan. Kata pemulihan kembali (bahasa Jerman: Ausgleich) akan mendekati. Tapi yang dimaksud ialah keseimbangan dinamis, bukan statis. Pendekatan lain untuk memahami istilah rekreasi yaitu berdasarkan istilah “leisure” atau waktu luang yang dipakai dalam bahasa Inggris dan Amerika Utara. Kata yang berasal dari bahasa Latin (licere=diizinkan) itu juga tidak berapa jelas. Istilah rekreasi di lihat dari segi tujuannya yaitu: (1) sebagai pelepas lelah, (2) sebagai penyaluran dalam pengisian waktu luang, (3) sebagai penyeimbang kerja, (4) pemenuhan dorongan untuk bergabung dalam kelompok.

4.      Olahraga (sport)
Tiga ciri pokok olahraga yang dianggap mematikan semangat ialah (1) penekanan kemenangan, (2) pengutamaan teknik dan keterampilan yang baik, (3) kehadiran penonton. Matveyev (1981) mengatakan, olahraga merupakan suatu kegiatan otot yang enerjik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya dan kemauannya semaksimal mungkin. Loy (1968) mengemukakan olahraga memerlukan peragaan ketangkasan fisik yang terungkap dalam keterampilan, kesegaran jasmani atau kombinasi kedua hal itu di samping mengandung ciri bermain, olahraga bersifat kompetetif.
a.       Ciri hakiki dalam olahraga
1)      Olahraga merupakan subbagian dari permainan
Olahraga sejati bukan sesuatu yang mendatangkan mudarat atau tak menyenangkan namun merupakan sumber kesukaan dan kebahagiaan atau maslahat (Fink, 1957).
2)      Ciri khas dalam olahraga
a)      Olahraga berorientasi pada kegiatan jasmani dalam wujud keterampilan motori, daya tahan, kekuatan, kecepatan
b)      Olahraga sebagai sebuah realitas
c)      Prinsip prestasi dalam olahraga
Berlandaskan pada uraian itu, secara umum dapat dikemukakan yakni prinsip prestasi dalam olahraga ditandai oleh :
§  Peragaan kemampuan jasmani, sehingga jelas prestasi olahraga diarahkan pada penguasaan, pemeliharaan, dan peningkatan hingga tingkat mentok keterampilan motorik (wiss, 1980)
§  Kegiatan olahraga dilaksanakan secara sukarela
§  Kegiatan olahraga dilakukan bertujuan bukan untuk menghancurkan lawan

3)      Aspek sosial dari olahraga
Meskipun kebebasan tetap ada pada pemain, tetapi suasana kemasyarakatan tak dapat di abaikan. Yang jelas ialah, olahraga itu kian bermakna jika dilakukan di lingkungan sosial. Selanjutnya, olahraga itu dipelajari di lingkungan sosial.

b.      Ciri-ciri pelengkap dari olahraga
o   Tujuan
o   Alat yang dipakai untuk mencapai tujuan
o   Peraturan
o   Keterlaksanaan berdasarkan kemampuan yang berorientasi
o   Sikap si pelaku

B.     Fair Play
Warnock (1971) terkandung kecenderungan yang melekat untuk berbuat buruk. Pernyataan ini mengingatkan kita akan potensi negative dari olahraga kompetitif yang dilakaukan secara berlebihan seperti, (1) kelalaian pada watak atlet (Yativ, 1969 : Lakie, 1964), (2) bahaya partisipasi pasif dari penonton (Kleinman, 1960 : Nash, 1938), (3) bahaya perilaku agresif (Berkowitz, 1964), dan bahaya konflik antar kelompok (Sherif, 1966). Karena itu kejujuran (fairness) atau fair play menekankan tindakan tak memihak (khususnya dari wasit) dan penekanan tanpa pandang buluh dalam upaya mencapai kemenangan atau keunggulan.
Berdasarkan uraian di atas, wujud nyata dari fair play ialah:
·      Kesiapan dan kesediaan untuk mentaati peraturan, respek terhadap wasit
·      Respek terhadap lawan

C.    Ilmu Keolahragaan ( Sport Sciences )
a.    Subdisiplin berlandaskan pengetahuan Anatomi-Fisiologi-Mekanika:
1.      Ilmu kedokteran olahraga ( sport medicine )
2.      Biomekanika olahraga ( Sport biomechanic )
b.   Subdisiplin berlandaskan ilmu social ( behavioral )
1.      Psikolagi olahraga ( sport psychology )
2.      Pedagogi olahraga ( sport pedagogy )
3.      Sosiologi olahraga ( sport sociology )
c.    Subdisiplin berlandaskan pengetahuan sejarah dan filsafat
1.      Sejarah olahraga ( sport history )
2.      Filsafat olahraga ( sport philosophy )

D.    Aplikasi IPTEK dalam Olahraga
Pidato Presiden Jerman Barat, Richard von Weizacker pada tanggal 16 November 1985 yang disampaikan dalam pertemuan Komite Olympiade Jerman Barat menggelitik perhatian para ilmuan olahraga. Presiden von Weizacker mengungkapkan sukses yang pantastik dalam olahraga sebagai satu bentuk budaya dan prinsip prestasi seperti tercakup dalam motto “citius, forties, altius”. Prinsip ini merupakan cerminan dari peradaban masyarakat barat yang dibangun oleh dukungan IPTEK. Masalah yang muncul, kata tuan Von Weizacker ialah meskipun IPTEK berkembang terus, tapi tubuh manusia tak bias demikian. Yang menggoda kita ialah perlakuan terhadap badan bak sebuah mesin.















MODUL 4
DIMENSI SOSIAL BUDAYA
DALAM PEMBINAAN OALHRAGA
Oleh:
Dr. Nina Sutresna
Interaksi Nilai Budaya dan Olahraga
Masyarakat memiliki potensi untuk berubah, membentuk dan mengarahkan perkembangan kelembagaan olahraga besertan kegiatannya, dan sebaliknya olahraga juga berpotensi untuk mempengaruhi lingkungan masyarakat sekitarnya. Pada tingkat individu keadaan demikian juga terjadi yaitu transaksi (hubungan timbal balik) antara individu dan lingkungannya berlangsung di sepanjang hidupnya.
Survei koni jabar 1973 (supandi, dkk) menyongsong PON VII di jakarta mengungkapkan opini atlet jabar tentang berbagai aspek, yang diantaranya adalah bahwa hanya sekitar 3% atlet anggota kontingen jabar yang berkeinginan ( jika ada kesempatan ) untuk hujrah ke daerah lainnya dengan motif untuk memperoleh jaminan sosial yang lebih baik. Sekitar 19 tahun kemudian, tepatnya 1992, surpai KONI jabar ( Rusli Lautan, dkk ) mengingkapkan aspek serupa.
Hasilnya sungguh mencolok perbedaannya dengan survei pertama, yaitu sekitar 40,76% dari atlet yang dipersiapkan menghadapi kualifikasi PON XIII yang berasal dari 21 cabang olahraga (sample seadanya sebesar 309 orang) mengungkapkan bahwa mereka ingin pindah ke daerah lain jika tidak ada jaminan sosial yang lebih baik.
Ungkapan keinginan para atlet top tersebut sesungguhnya mencerminkan sikap dan persepsi mereka terhadap olahraga yang tidak lagi semata-mata merupakan objek pemenuhan dorongan atau motivasi intinsic, tetapi merupakan “kerja” yang dapat mendatangkan ganjaran dari luar. Keadaan ini dapat kita kaitkan dengan perkembangan sejarah dan perubahan sosial yang terjadi.
Sekitar satu desawarsa kemudian kita amati arus balik dari jawa ke luar jawa. Keadaan ini berkaitan erat dengan gejala dalam kependudukan, yaitu mobilitas penduduk antar daerah/pulau kian meningkat karena dukungan system transportasi yang kian memebaik dengan pembangunan kian merata keseluruh tanah air. Keadaan ini dipengaruhi oleh peningkatan pembinaan di setiap daerah karena di dukung oleh pemerintah daerah dan pihak swasta dalam penyediaan dana.
Yang menarik perhatian kita adalah olahraga dimanfaatkan sebagai pemantik dari proses dinamis seiring pembangunan daerah, olahraga sebagai medium untuk mempercepat proses enkulturasi, olahraga sebagai proses pembangunan. Pencapaian prestasi dalam wujud perolehan medali atau kejuaraan merupakan nilai tambah dari keuntungan lainnya yang berasal dari proses pembinaan itu sendiri, sementara rangkaian akibat dalam wujud dampak positif terhadap perubahan sosial budaya masyarakat sungguh tidakkalah pentingnya.
Secara bertahap diperkenalkan system nilai berprestasi dengan harapan system nilai ini juga beralih pada sector lainnya. Selanjutnya, pencapaian prestasi dengan berbagai penghargaan simbolik (misalnya medali, gelar juara) itu juga ditumpangi oleh niali yang menutamakan efisensi dan kemanfataan. Karena itu, pihak swasta yang banyak berperan sebagai penyandang dana, sungguh mungkin lebih berorientasi pada produk ketimbang proses.
Meskipun kejadian seperti itu baru berupa kasus, namun jiga dibiarkan akan merembet menjadi masalah nasional di bidang keolahragaan yang mengacaukan tatanan system pembinaan. Karena itu, perlu ditertibkan melalui tata aturan yang mengatur ihwal perpindahan.
Perubahan Orientasi
Meskipun cabang olahraga kompetitif (prestasi) yang dikelola di bawah gerakan Olympiade masih dominan, namun beberapa tahun terakhir ini mulai tampak keragaman jenis/cabang olahraga yang dilakukan oleh masyarakat, terutama kaum muda. Hal ini ada kaitannya dengan peranan lingkungan generasi muda,  seperti keluarga, klub olahraga dan sekolah.
Dalam kenyataannya, kita mengandalkan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mampu memainkan peranan utama dalam meletakan dasar yang kuat dalam bidang olahraga. Namun proses pendidikan jasmani/olahraga yang berlangsung di sekolah-sekolah dengan kurikulum inti berupa kecabangan olahraga itu tidak seberapa berhasil dalam menanamkan apresiasi itu terhadap olahraga, menumbuhkan keterampilan dasar, merangsang kemampuan kognitif dan bahkan keterampilan sosial dalam hidup bermasyarakat. Padahal, sekolah merupakan medium yang sangat strategis dalam rangka pembentukan dan pembinaan olahraga, namun prosesnya lemah karean terlampau banyak kendala (misalnya keterbatasan dana, alat-alat, dan fasilitas olahraga).
Sementara itu, klub olahraga atau organisasi induk olahraga yang lebih berorientasi pada olahraga prestasi juga mengalami persoalan yang hampir sama dengan keadaan di sekolah. Lemahnya kapabilitas manajemen, dan kelangkaan sumber daya (terutama dana dan keterampilan teknis) merupakan faktor pembatas untuk mencapai hasil yang optimal.
Pada golongan yang lebih tua kita amati perkembangan yang sangat menggembirakan yakni partisipasi dalam kegiatan olahraga yang lebih berorientasi pada kesehatan (helath awareness), seperti yang terhimpun dalam klub jantung sehat, klub-klub senam dan tai-chi.
Karena itu nilai-nilai sosial dan sikap remaja atu kaum muda terhadap olahraga merupakan modal dasar (Bourdie, 1985). Hal ini memang perlu memperoleh penekanan, karena struktur pendidikan di Indonesia, termasuk di Jawa Barat adalah struktur usia muda. Gejala perubahan itu pada gilirannya berimplikasi pada strategi pembinaan.
Strategi pembinaan
Uraian di atas merupakan prolog dari analisis terhadap kecenderungan pergeseran makna konsep olahraga yang semula dipahami menyempit sebagai peranan keterampilan dan ketangkasan fisik melalui pengerahan tenaga maksimaldalam rangka kompetisi baik unruk mengatasi tantangan unsur alam, dan lawan demi prestasi, lalu meluas menjadi aktivitas jasmani yang memberikan tempat bagi pengembangan kretivitas dan spontanitas, dan nilai-nilai hedonistic, seperti menikmati kesukaan, petualangan dan pemenuhan kebutuhan emosional. Sementara ini, seperti dalam kegiatanpembinaan olahraga daerah ini, inti krgiatan yang lebih banyak memeperoleh curahan perhatian dan pembinan adalah cabang-cabang olahraga kompetitif yang searahdenga nomor-nomor resmi yang dipertandingkan di tingkat nasional dan internasional.
Karena itu, proses pembinaan olahraga yang pada hakikatnya berlangsung dalam lingkungan sosial, beserta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalamnya, sebaiknya peduli terhadap gejala perubahan itu, terutama gejala perubahan nilai di kalangan kaum muda, termasuk gaya hidupnya. Ketidapedulian kita terhadap faktor ini, sungghuh mungkin merupakan penyemodul., ketidakmampuan kita mencapai hasil yang optimal dalam pembinaan olahraga.
Proses Sosialisasi
1.        Agen Sosial
       Anak belajar tentang prilaku dengan mengamati orang lain yang bisa dijadikan model dan dengan cara menginternalisasi, menghayati dan mengendapkan kesemua perilaku itu sehingga menjadi bagian dari perilakunya sendiri. Proses semacam itu disebut dalam istilah sosial learning. Dalam konteks olahraga, belajar dari model atau dari orang lain dilingkungan sekitar merupakan jumlah yang lumrah. Bahkan cukup kuat kebenarannya, proses belajar olahraga (misalnya mulai menyenangi suatu cabang) terangsang oleh pengaruh prilaku orang sekitar seperti seorang kampium yang dijadikan idola, anggota keluarga (misal ayah atau ibu, saudara sekandung) atau teman sepermainan. Konsep utama yang melandasi gejala tersebut dapat kita ungkapkan dalam istilah sosialisasi.
       Dalam proses sosialisasi ada tiga elemen pokok yang memungkinkan berlangsunya proses belajar-sosial, yakni : (1) Agen Sosial, (2) Situasi Sosial, dan (3) Krakteristik Personal (Kenyon & McPherson, 1973).
2.        Situasi Sosial
       Faktor lain yang dianggap berpengaruh terhadap partisispasi dalam olahraga dan keterampilan berolahraga ialah lingkungan fiscal dimana kegiatan bermain dan berolahrag dilakukan. Kurangnya lapangan di sekitar rumah, smpitnya tanah lapang dan taman-taman tempat bermain karena sudah terisi oleh bangunan, atau jalan raya yang tak mungkin dipakai olah anak untuk bermain karena bahaya lalulintas menyeModulkan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak semakin berkurang. Isu ini sungguh menarik untuk diteliti secara mendalam di Indonesia. Lenyapnya permainan tradisional karena tergeser oleh jenis permainan. Isu ini sungguh menarik untuk diteliti secara mendalam kemungkinan bukan semata-mata karena dampak kemajuan teknoloogi, tetapi uga perubahan tata lingkungan.
3.        Karakteristik Personal
       Bagaimana persepsi anaktentang kemampuannya dalam olahraga dianggap berpengaruh terhadap keterlibatannya dalam kegiatan tersebut. Persoalan tersebut, telah diselidiki antara lain oleh Lewko & Ewing (1980). Yang menarik dari susut ini yakni, anak pria mempersepsi kemampuan mereka tinggi, meskipun tak terkait dengan keterlibatannya. Hal ini rupanya ada hubungannya dengan pandangan umum yang melekat bahwa pria memiliki sifat kelaki-lakian yang cocok untuk melakukan pekerjaan berat. Kebalikannya, hanya wanita yang terlibat dalam kegiatan olahraga yang mempersepsi kemapuannya tinggi; anak wanita yang tidak berolahraga cenderung mempersepsi kemampuannya rendah. Karean itu, implikasi penting dari penemuan tersebut ialah, proses sosialisasi olahraga dapat dilangsungkan dengan dua pendekatan yang berbeda terhadap anak pria dan anak wanita.













MODUL 5

PEMBINAAN OLAHRAGA USIA DINI DALAM KACAMATA SOSIAL

Oleh : Dr. Nina Sutresna

            Setiap cabang olahraga memiliki karakteristik masing-masing dan bila ditinjau dari sudut pandang belajar motorik, setiap cabang olahraga itu memerlukan tingkat kemampuan atau ability yang berbeda pula.Istilah ability identik dengan bakat dalam olahraga, yakni kemampuan alamiah yang sifatnya keturunan dan hanya sedikit kemungkinannya bisa berubah karena belajar atau berlatih. Setiap cabang olahraga memerlukan sejumlah unsur ability yang berbeda.
             Disamping faktor bakat atau abilityitu, maka kesiapan belajar sangat berpengaruh terhadap efektivitas proses belajar mengajar keterampilan oalhraga. Faktor kematangan ini sering pula di kaitkan dengan umur kerangka sebagai indicator, namun kerena ruwet dari segi teknis (harus di periksa dengan sinar-X orang enggan memperlakukan seperti itu), maka lebih cocok digunakan tes keterampilan tertentu. Kelemahan umum adalah program, isi, dan sekuen latihan atau tugas gerak tidak sesuai dengan tingkat kematangan anak.
            Anak yang berbakat dapat dipantau dari proses pembinaan. Beberapa indikasi yang teramati yaitu :
·         Kemampuan belajar meningkat cepat
·         Prestasi yang dicapai relative stabil, artinya kurva turun naiknya tidak terjadi secara drastic
·         Antusias mengikuti program
·         Suka mencari tantangan
·         Tahan terhadap sters fisik maupun mental, seperti tercermin dari daya toleransi yang tinggi terhadap beban kerja atau latihan.
            Dari segi fisik (fungsi fisiologi) atau structural (misalnya tife dan ukuran tubuh),kita dapat dengan mudah identifikasi apakah sesesorang memiliki potensi dalam suatu cabang olahraga, namun peluang untuk berhasil tidak dapat dijelaskan hanya dari sudut itu, karena ternyata faktor lingkungan sosial, termasuk seperangkat nilai norma yang terdapat didalamnya memainkan peranan penting, proses sosialisasi pada gilirannya menentukan seberapa banyak kesempatan seseorang untuk mengembangkan hak dan potensinya.
            Berkaitan dengan faktor Milleau, maka proses sosialisasi melalui olahraga dan untuk menjalankan peranan dalam olahraga, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya baik bersifat bawaan maupun perolehan. Faktor bawaan yang diwariskan dari keluarga seperti status sosial, jenis ras atau suku bangsa, kedudukan, dan urutan keluarga dan bahkan faktor geografis berpengaruh dalam pembinaan potensi seseorang dalam olahraga.
            Bukti-bukti riset sudah banyak mengungkapkan bahwa atlet elit berprestasi memulai karirnya dalam olahraga kompetitif sejak usia dini dan sejak mula mereka menunjukan prestasi dan bahkan aktif dalam beberapa cabang olahraga. Dalam proses pembinaan lingkungan, lingkungan yang dominan adalah pelatih, teman sepermainan, dan orang tua. Karna itu peranan keluarga, sekolah, dan klub yang menciptakan kerjasama anak,orang tua,guru dan pelatih menjadi faktor kunci pencapaian keberhasilan.
            Disamping olahraga mengandung potensi positif dalam pembinaan dan pembentukan, namun partisipasi yang berlebihan dalam olahraga kompetitif mengandung masalah khusus seperti karier yang tidak jelas pada masa berikutnya, penamaan perilaku agresif, campur tangan orang tua terlampau banyak, dan gejala “drop out” dari kegiatan berlatih. Yang terakhir ini disebutkan beberapa alasan misalnya karena kebosanan atau anak di bombardir dengan stress, di samping alasan ini seperti terlampau berorientasi pada kemengan. Karena itu, orientasi perlu bergeser ke “perolehan kepuasan”.
            Keterlibatan anak dalam oalahraga kompetitif, selain di pengaruhi oleh situasi objektif dari kompetensi, juga situasi subjektif, terutama persepsi atau pandangan mereka terhadap kegiatan itu. Keputusan untuk terlibat juga dipengaruhi oleh kesadaran bahwa yang bersangkutan mereka berkopenten dalam tugas. Itulah sebetulnya, pendidikan, khususnya pengasuhan tertuju pada pembekalan pengalaman sukses dan kemandirian karena berpengaruh terhadap kesadaran berkompenten. Sifat ini merupakan akar dari kesiapan untuk bersaing dalam olahraga.
            Pembinaan usia dini di indonesia perlu memperhitungkan dimensi sosiologi, terutama efek lingkunagan sosial di samping faktor lainnya, seperti penelaahan segi biologis, dan psikologis. Pengkajian mendalam melalui riset perlu di lakukan lebih banyak dalam kesempatan mendatang.
            Selain lingkungan rumah (orang tua), sekolah (guru/pendidikan jasmani/olahraga) dan klub (pelatih), maka peningkatan aspirasi terhadap olahraga juga terjadi akibat pengaruh media masa. Peningkatan teknologi komunikasi yang mendukung terjadinya globalisasi olahraga dan peredaran informasi menjadi cepat dan bertambah jumlahnya sangat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran sosial. Berkaitan dengan itu, maka modeling juga telah berlangsung, sementara yang dijadikan idola adalah pemain top dunia dari luar negeri. Sungguh mengkhawatirkan, karena ada kesan berdasarkan observasi sepintas, terjadi semacam krisis model dalam negeri. Ini suatu tantangan bagaimana atlet top nasional terdahulu bisa tampil sebagai sosok pribadi yang utuh memberikan aspirasi bagi generasi berikutnya untuk mengikuti jejak keberhasilannya.
            Motif politik, odeologis, dan komersial dalam pembinan olahraga kompetitif di kalangan anak-anak, terutama dari segi perkembangan dan pertumbuhan anak yang wajar untuk menjalankan peranan dan fungsi sosial di masyarakat, apabila pengelolanya tidak terkendali secara baik. 














MODUL 6
WANITA DAN OLAHRAGA
Fenomenal Sosial
Oleh:
Dr. Nina Sutresna
            Tayangan The Big Green (sebuah film bertemakan anak-anak di USA, tayangan salah satu stasiun TV bulan Juni 2001) yang bertutur  tentang upaya keras sebuah tim sepak bola kecil untuk meraih gelar “The Winner” mengiring penulis pada pemahaman bahwa tidak ada batasnya antara kaum laki-laki dan wanita dalam dunia olahraga.
Kesadaran bahwa gender sebagai pembatas ketrlibatan dunia kaum yang bersebrangan ini menjadi semakin tipis dan nyaris tanpa batas sejak menjelang habis abad 21. Padahal kalau menilik pada sejarah lampau, betapa perjuangan kaum mayoritas (wanita) agar dapat diakui esistensinya, tidak saja terjadi dalam olahraga namun juga kaum wanita harus berkutat dengan beragam hambatan di bidang lain.
Rujukan sebagai sumber mengisyaratkan, bagaimanapun juga kaum wanita dianggap sebagai kaum lemah yang keberadaannya tidak pernah bisa melampaui kaum laki-laki. Bahkan sekalipun di dunia olahraga yang sarat dengan ‘sportifitas’ dan peduli pada fair play. Kehadiran kaum wanita selalu dianggap sebagai kelompok yang sarat dengan berbagai kekurangan dibandingkn dengan kaum laki-laki.
            Tuntutan persamaan hak untuk menjalani aktifitas fisik sebagaimana kaum laki-laki, kerap dianggap sesuatu yang muskil bisa terlaksana. Dunia olahraga yang sarat budaya fair play kiranya dapat dijadikan media untuk menghantarkan kaum wanita agar mampu mensejajarkan diri, berdiri dengan laluasa sebagaimana keberadaan kaum laki-laki. Tinjauan sejarah serta tilikan perkembangan keterlibatan wanita yang terjadi saat ini, diharapkan dapat menyuguhkan fakta, bahwa pada dasarnya potensi yang menyertai kaum wanita tidak semestinya menjadi hambatan untuk dapat berperan serta dalam kegiatan olahraga, sebagaimana halnya kaum laki-laki.
            Kembali pada tayangan The Big Green yang memacu penulis untuk menyodorkan fakta bahwa kemampuan dan keberadaan kaum wanita tidak ubah dengan kaum laki-laki. Dapat disaksikan dengan jelas keberhasilan suatu tim kuat yang merupakan kelompok laki-laki semata. Kepercayaan pelatih pada kemampuan anak permpuan untuk memikul tanggung jawab sebagai ‘pencetak gol’ pada adu penalty, merupakan buktu kongkret, bahwa ini ‘dunia sekarang’, dunia yang mampu memberikan toleransi, yang cukup menampar kaum anti-feminist karena membiarkan batas jelas antara laki-laki dan perpempuan menjadi luntur.
            Olahraga kerap kali dipandang sebagai dunianya kaum laki-laki. Pemahaman ini tampaknya cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa lampau. Tinjauan kaum wanita dari berbagai sisi mengiring pada satu pemahaman yang seharusnya mampu membuka mata (hati) setiap individu agar mampu member tempat yang lebih lapang bagi kau hawa untuk berperan aktif dan kondusif, beriringan jalan dengan kaum adam.
Isu dan Kontroversi
Bentuk Partisipasi Wanita dalam Kegiatan Olahraga
            Informasi yang berkaitan dengan keikutsertaan wanita dalam cabang olahraga yang menekankan pada body contact masih minim. Salah satu hasil penelitian yang digarap oleh Brown dan Davies (1978), mengindikasikan bahwa sikap wanita pada jenis olahraga yang keras (body contact) masih sangat rendah, dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pada umumnya kaum wanita kurang menyukai cabang-cabang olahraga yang di dalamnya sarat dengan kekerasan fisik. Penelitian yang secara berturut dilakukan oleg Breidmeier dkk. (1982-1984) menginformasikan bahwa, pada tingkat kompetisi yang lebih tinggi, baik atlet laki-laki maupun wanita, sudah mulai mengerah pada partisipasi yang jauh lebih meningkat. Adanya perbedaan bersosialisasi antara kaum laki-laki dan wanita mempengaruhi pemilihan cabang olahraga diantara keduanya.
            Sosiolog Michael Smith menyimpulkan bahwa mulai tahun 1970an tingkat keterlibatan wanita dalam olahraga terus meningkat. Perambahan pada cabang-cabang olahraga keras sebagaimana yang kerap dilakukan kaum pria, bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu. Kesadaran akan adanya persamaan antara kaum laki-laki dan wanita semakin membuka kesadaran kaum wanita, sehingga penerapan strategi dalam cabang olahraga keras merupakan sesuatu yang cukup mengasyikan.
            Kekerasan sering diartikan sebagai lambang masculinities. Adanya orientasi ini pada akhirnya mengiring mempengaruhi perbedaan pemilihan jenis aktifitas yang dilakukan kaum wanita, terutama dikaitkan dengan kehidupan social dan nilai Sosial yang ad di masyarakat.
Gender Relations
Kendala Bagi Kaum Wanita
Beberapa pendapat;
            “Olahraga identik dengan kaum laki-laki. Standar ganda yang berlaku dikalangan mayarakat mensyaratkan bahwa wanita hanya sebagai objek bukan subjek” (Doroyhy Harris, 1987).
            “Jumlah wanita yang berperan sebagai pelatih dan menduduki posisi sebagai administrasi olahraga dalam sepuluh tahun terakhir mulai beranjak pada angka 50% bahkan lebih. Olahraga wanita mengalami peningkatan yang berarti, namun demikian sebagian besar kaum laki-laki masih meyakini bahwa kaum wanita tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk aktifitas tersebut.”  (Carrol Mann, PresidenFederasi Olahraga wanita, 1988).
            “Suatu hal yang saya yakini, bahwa Tuhan tidak menciptakan tubuh kaum wanita untuk melakukan pekerjaan yang penuh kekerasan. Tubuh mereka hanya dipersiapkan untuk menjalani segala sesuatu yang berbau feminis ”(Bob Kneppers, pelatih dan Pemain Bola basket USA, 1988).
Bentuk Partisipasi Wanita dalam Olahraga
1.      Peningkatan Partisipasi
Sejak awal era 70-an, terjadi perubahan yang cukup dramatis berkaitan dengan peranan wanitadalam kegiatan olahraga. Beberapa alasan yang mengemukakan antara lain adanya perubahan yang terjadi dikaitkan dengan nilai social yang terjadi pada masyarakat, terutama di Negara-negara industry. Perubahan tersebut yakni berkaitan dengan peningkatan;
1.      Kesempatan Baru.
2.      Kebijakan Pemerintah.
3.      Aktifitas Wanita.
4.      Kesehatan dan Kebugaran Jasmani.
5.      Pemberian penghargaan dan publisitas atlet wanita.

2.       New Opportunities (Kesempatan Baru)
Sebelum datangnya tahun 1970 kaum wanita tidak ikut ambil bagian dalam olahraga dengan satu alasan yang sangat sederhana, yakni tidak adanya perkumpulan dan program yang tersedia bagi mereka. Pemikiran seperti itu lambat laun berkurang dan bahkan menghilang. Meskipun sebagian orang tua belum memiliki pemahaman yang sama terhadap perubahan pola piker tersebut, kegiatan olahraga sudah mulai menarik minat kaum wanita, terutama kaum remaja putri. Kesadaran adanya kesempatan baru yang cukup menantang ini semakin mengundang kehadiran para remaja putri untuk turut mengambil bagian dalam kegiatan olahraga di sekolah.

3.      Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang mulai menerima keberadaan wanita dalam kegiatan olahraga serta kegiatan lainnya, seperti ekonomi, politik, dan lain-lain pada awalnya mendapat tantangan yang cukup keras dari kalnagn masyarakat yang masih menganut tatanan masyarakat ortodok. Setelah melalui debat yang cukup panjang dan melelahkan, penuturan tetang perlu adanya perubahan sikap mengenai masalah gender mulai diangkat. Hal ini terjadi, bahkan di Negara sebesar dan seliberal Amerika, setelah melalui proses lobi yang berlangsung puluhan tahun. Akhirnya kongres memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam pasal IX pada tahu 1972. Pasal ini mengatur sesuatu yang secara spesifik diarahkan pada pengesahan dan perlindungan terhadap kaum wanita yang berpartisipasi dalam setap kegiatan. Secara tersurat aturan tersebut kurang lebih berbunyi ; “Setiap orang (tanpa memperhatikan jenis kelamin) memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
Hadirnya pasal ini mendapat tantangan cukup keras, terutama muncul dari kaum pria yang mengelola program di sekolah. Banyaknya kejadian yang bertolak belakang dengan isi pasal tersebut kerap mengakibatkan peanggaran hak asasi bagi kaum wanita yang tidak mendapatkan penyelesaian dari pemerintah. Dan sebagai konsekuensinya hamper 800 kasus pelanggaran dalam pasal tersebut di lingkungan departemen pendidikan tidak pernah diusut (Sabo 1988).
Perjuangan keras dari segelintir politisi yang peduli pada kaum wanita di Kanada memicu terbentuknya perkumpulan olahraga amatur kaum wanita pada tahun 1980. Enam tahun kemudian publikasi yang menyoroti kehidupan kaum wanita dalam dunia olahraga mulai banyak diedarkan. Bergulirnya kebijakan yang menerima persamaan hak dan kesempatan bagi kaum wanita untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan olahraga, menjadikan Negara Kanada sebau Negara Barat pertama yang membuka peluang besar bagi kaum wanita untuk terjun  bebas dalam aktifitas olahraga.
4.      Perkembangan Keterlibatan Wanita dan Olahraga
Gagasan bahwa kaum wanita memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki mendorong kaum wanita dar segala tingkat dan kalangan untuk lebih berpartisipasi dan menunjukan kemampuannya dalam kegiatan olahraga (Fleskin, 1974). Adanya perubahan tatanan budaya dalam kehidupan masyrakat, ditandai dengan mulainya pemberian nilai yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam olahraga. Olahraga bukan dijadikan sebagai alat untuk mengeliminir kekurangan yang selama ini dijadikan landasan perbedaan kemampuan fisik.
5.      Kesehatan dan Kebugaran Jasmani
Meningkatkan kesadaran akan perlunya kesehatan dan kebugaran jasmani menjelang pertengahan 70-an mendorong kaum wanita untuk mengambil bagian dalam aktifitas fisik, termasuk olahraga. Tujuan yang ingin digapai melalui keikutsertaan tersebut awalnya masih dikaitkan dengan segi keindahan fisik (beauty youthfull) dan kemudian mulai beranjak pada keinginan untuk memiliki tubuh yang indah dilenfjapi dengan kekuatan otot, bahkan mulai bergeser pada hasrat untuk mengembangkan tubuh untuk menjadi lebih besar, atau dengan kata lain olahraga oleh sebagian besar remaja putri dipakai sebagai alat untuk menampilkan diri menjadi lebih ‘maskulin”. Kecenderungan hanya tubuh feminism yang layak dijadikan model untuk mempromosikan baju oleh para desainer mulai beralih pada tubuh yang sedikit maskulin merupakan objek yang cukup menarik untuk dijadikan ‘pajangan’ oleh stiap desainer.
Tatanan budaya yang terjadi di masyarakat pada akhirnya turut mengubah pola hidup berolahraga bagi kaum wanita. Bermunculannya kesadaran para orang tua, serta adanya kelapangan dari kaum laki-laki untuk mengakui eksistensi wanita menjadi dasar signifikan yang mengiring sebagian besar anak perempuan untuk lebih banyak mengambil kesempatan melakukan kegiatan dalam berbagai cabang olahraga.
Keengganan serta harapan bahwa wanita hanya mampu dan pantas memilih cabang-cabang tertentu saja semakin luntur dan bahkan pada beberapa cabang olahraga keras, seperti sepak bola dan bela diri mulai diminati kaum wanita.
Perubahan Struktur dikaitkan dengan Gender
Olahraga kerap dipakai sebagai alat untuk menunjukan kelebihan kaum lai-laki dibandingkan kaum wanita. Pergeseran nilai yang terjadi pada kaum wanita belum sepenuhnya bmensejajarkan kaum wanita dengan kaum laki-laki. Hambatan di bidang ekonomi, politik, dan bahkan budaya masih kerap dijumpai. Pada kenyataannya kaum laki-laki masih mendominasi dan memegang kendali pada setiap organisasi yang seharusnya melibatkan kaum wanita. Satu contoh yang sederhana yang bahkan sampai saat ini masih berlangsung, adalah adanya beragam permintaan yang masih melemahkan kaum wanita. Orang kerap menyatakan kalau anak laki-laki melakukan teknik gerakan yang salah, maka serta merta akan keluar komentar “pukulannya/lemparannya lembek seperti pukulan/lemparan anak perempuan” namun sebaliknya bila ada anak perempuan yang melakukan suatu gerakan yang bagus, maka komentar yang keluar adalah “Pukulan dan lemparannya hebat seperti anak laki-laki”. Pernyataan sekecil ini sesederhana ini pun disadari atau tidak tetap saja mengindikasi bahwa sampai saat ini, kekuatan dan kehebatan masih tetap identik dengan kaum laki-laki dan sebaliknya kelemahan dan kekurangan menandakan itulah kehidupan kaum wanita yang sesungguhnya.
Sosiolog Nancy Theberge (1984) mengatakan bahwa perubahan mendasar yang terjadi secara progresif, dikaitkan dengan kaum wanita menunjukan jati diri melalui kegiatan olahraga, merupakan paspor bagi kaum wanita untuk memasuki bidang pekerjaan yang lebih luas. Rambahan bidang pekerjaan yang selama ini dianggap lahan kaum laki-laki mulai digarap oleh kaum wanita.
Sangat menarik bahwa perubahan kesetaraan gender pada kenyataanya belum bisa diterima bila dikaitkan dengan agama. Satu contoh, Iran hanya mengirimkan atlet putra untuk mengikuti Olympiade di Seoul pada tahun 1988  sebagai akibat dari tekanan publik terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga dikaitkan dengan agama. Masa simana hamper semua makhluk di dunia sudah tidak memperdulikan lagi perbedaan gender ini, nampaknya masih sulit diterima oleh agama yang masih berbasis agama yang sangat kental.
Satu tulisan sederhana yang penulis kutip dari bukub creativity-nya Prof.DR Utami Munandar menginformasikan bahwa tidak sedikit anak perempuan berbakat namun nyatanya tidak mampu berprestasi dengan baik.Tinjauan perbedaan antara kaum laki-laki dengan kaum wanita beranjak dari perbedaan biologis, social budaya, dan kemampuan. Jabaran lain mengiringi pada adanya keyakinan berkenaan dengan perbedaan dalam harapan, orientasi, prestasi yang meliputi harapan keluarga teman sebaya dan sekolah.
Beberapa Perbedaan (Rujukan Utami Munandar)
1.       Perbedaan Antar Jenis Kelamin
Perbandingan perbedaan biologis versus social-budaya antar jenis kelamin merupakan dasar yang baik untuk menentukan sejauh mana prestasi dibawah potensi dariperempuan daoat diubah. Proporsi perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dapat dipandang sebagai pembatasan prestasi potensial dari perempuan berbakat. Bagaimanapun perbedaan jenis kelamin yang berkaitan dengan norma social-budaya, stereotip, bias dan diskriminasi dapat diubah, dan dapat diubah, dan di koreksi dari masalah ini membebaskan perempuan untuk berprestasi setara dengan pria.
a.      Perbedaan Biologis
Velle (1982) meninjau berbagai penelitian mengenai perbedaan perilku antar jenis kelamin denmgan dasar biologis, perbedaan yang mungkin dapat membatasi prestasi perempuan. Meskipun beberapa dari penelitian tersebut berdasarkan perilaku hewan, namun beberapa juga melibatkan perempuan.
1.      Tingkat Aktifitas Fisik
Velle menjelaskan aktifitas fisik pria yang lebih tinggi karena pengaruh hormone di dalam otak selama perkembangan janin. Kebanyakan penelitian yang dikutip melibatkan hewan, dan hanya satu penelitian  yang melibatkan manusia (Restak, 1979) menunjukan bahwa hiperkinesis (tingkat aktifitas fisik yang abnormal tinggi) lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dari pada anak perempuan . Memang hiperaktifitas yang menyertai sekitar 50% dari ketidakmampuan belajar anak di sekolah sebagian besar ditemukan anak laki-laki.
2.      Agresi
Masih penelitian yang dikutip dari Velle (1980) menginformasikan bahwa beberapa studi dengan hewan dimana hormone jantan testoreon dihubungkan dengan agresi. Ia juga mengemukakan studi dengan manusia yang menunjukan anak laki-laki menampilkan lebih banyak perilaku agresif daripada anak perempuan. Satu studi yang menarik melaporkan hasil pemberian hestrogen sintesis (hormone perempuan ) kepada wanita hamil yang menderita penyakit gula, ternyata anak laki-laki mereka secara nyata menunjukan perilaku yang kurang agresif pada umur 16 tahun dibandingkan perilaku anak laki-laki 16 tahun dari ibu normal dan ibu diabetes yang tidak mendapatkan hormone.
3.      Perbedaan Dominasi Belahan Otak
Dalam tiga dasawarsa terakhir banyak penelitian yang dilakukan mengenai spesialisasi belahan otak yang kiri untuk bahasa, kemampuan verbal dan berpikir logis sekuensial. Sedangkan belahan otak kanan memiliki unjuk kerja berkenaan dengan kemanpuan spasial dan kemampuan nonverbal lainnya. Dugaan tentang kemampuan yang tidak berkaitan  dengan perbedaan seks berdasarkan penggunaan yang lebih khusus dari salah satu belahan otak sangat kontrofesial dan tidak didukung oleh data penelitian yang akurat. Namun beberapa peneliti menemukan bahwa dominasi yang kuat pada belahan otak kanan pria, menghasilkan kemampuan special yang lebih tinggi. Sebaliknya Buvvery dab Gray (dalam rimm, 1985) menekankan bahwa perkembangan  bilateral yang lebih baik pada pria, yakni perkembangan yang seimbang dari belahan otak menyeModulkan kemampuan special yang lebih unggul pada pria.
Camillebandel (dalam rim, 1985) menyimpulkan bahwa kemampuan verbal yang lebih unggul pada wanita dan kemampuan wanita dan spasial  yang lebih unggul pada pria berkaitan dengan fungsi hemisfer yang drifensial, dan perbedaan itu bersifat genetis.
Durden-Smith dan Desinine (1982) merinci beberapa perbedaan biologis yang nyata antara kedua jenis kelamin yang menunjukan perempuan nyata tampak unggul secara fisik, dan social yaitu:
·         Pria lebih mungkin menunjukan kelainan seksual dan menjadi psikopat.
·         Perempuan lebih kuat dalam kemampuan ferbal dan komunikasi, tetapi lebih banyak ,enderita phobia dan depresi.
·         Lebih banyak pria pada kedua ujung, spectrum intelektual, jenius dan retradasi mental.
·         Lebih banyak pria mendapat serangan jantung, karena testoteron meningkatkan kolestrol dan mengeraskan arteri.
·         Anak perempuan berkembang lebih cepat.
b.      Perbedaan Sosial-Budaya
Dari studi-studi tentang perubahan peranan perempuan didalam masyarakat diperoleh data bahwa banyak perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak memiliki perbedaan biologis. Sejak lahir anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan berbeda, bahkan sebelum lahir. Begitu orang tua mengetahui bahwa bayi yang akan lahir perempuan atau laki-laki, mereka membuat persiapan yang sudah membedakan; kamar biru untuk anak laki-laki dan kamar merah jambu untuk anak perempuan.
Dalam mengembangkan sex-role inventory, Bem (1974) merinci karakteristik stereotip dari anak laki-laki dan perempuan.yang menarik adalah bahwa karakteristik yang dianggap “maskulin” juga khas untuk orang-orang yang berhasil, seperti misalnya keagresifan, ambisius, kemampuan analisis, keasertifan, daya saing, kemampuan memimpin, kemandirian dan percaya diri. Karakteristik yang dianggap “feminine” ialah yang berhubungan dengan peran mengasuh dan merawat atau dengan pekerjaan yang didominasi peempuan, seperti; kasih sayang, rasa kasihan, kelembutan, sayang anak, malu-malu, pemahaman dan kehangatan.
Cirri jenis kelamin yang stereotip diperkuat lebih lanjut oleh buku pelajaran, perpustakaan, dan media. Anak-anak digiring dengan bacaan yang mengatributkan stereotip peran jenis kelamin. Ada buku khas untuk anak perempuan dan buku yang diperuntukan bagi anak laki-laki. Dalam lakon film dan televisi karakter pria digambarkan dengan sangat aktif, agresif dan sebagai pemimpin atau penguasa, sedangkan karakter perempuan kebanyak digambarkan sebagai lemah lembut, memerlukan bantuan menurut dan jarang sebagai pemimpin atau pengambil keputusan. Iklan komersial ternyata efektif dalam mempengaruhi anak-anak dalam memnerima peranan perempuan yang tradisional atau nontradisional.
c.       Perbedaan dalam Kemampuan
Dari berbagai penelitian mengenai perbedaan kemampuan pada kedua jenis kelamin, pada umumnya diperoleh hasil bahwa anak perempuan melebihi anak laki-laki dalam kemampuan verbal, berpikir divergen verbal, dan dalam kecerdasan umum. Sedangkan anak laki-laki melebihi kemampuan anak perempuan dalam kemampuan kuantitatif dan visual special (Stanley, 1983). Disamping itu anak perempuan pada umumnya mencapai nilai lebih tinggi pada tes prestasi, lebih sedikit mengulang kelas dan kurang menimbulkan masalah dalam kelas. Hal ini mungkin berkaitan dengan sifat ketergantungan mereka, konformitas dan keinginan untuk menyenangkan orang lain.
Bagaimanapun dalam satu studiyang dilakukan pada tahun 1977 di Jakarta (Perkotaan) Dan Cianjur (pedesaan) terhadap siswa Sd dan SMP tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara anak laki-laki dengan anak perempuan pada tes intelegensi, kreativitas, daya ingatan dan prestasi sekolah. Anak laki-laki dan anak perempuan setara pada semua perubahan tes (Utami Arismunandar, 1999). Penelitian semacam ini pernah juga oleh Badan Pendidikan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) pada tahun 1975 dan merekomendasi hasil yang sama. Beberapa mahasiswa fakultas psikologi Universitas Indonesia belum lama ini meneliti hal serupa dan menunjukan hasil yang sedikit berbeda, yakni skor anak laki-laki dalam hal kreatifitas sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan.
d.      Kemampuan Matematika
Sering diperdebatkan apakah pria lebih unggul dibandingkan perempuan dalam kemampuan matematika. Jika kemampuan lelaki dan perempuan masih sama pada tingkat sekolah dasar, tetapi mulai umur 12013 tahun anak laki-laki mulai menampilkan keunggulan. Menurut Janson (1982) kemampuan pria dalam visual-spasial yang penting buntuk matematika, mempunyai dasar genetis. Namun beberapa pakar berpendapat bahwa terhadap alasan biologis dari Janson, ada argument banding yang menekan bahwa kemampuan matematika mempunyai dasar cultural. Kalaupun pria lebih unggul kemampuan matematika daripada perempuan, hal ini sebagian dapat dijelaskan dengan harapan atau tuntutan orang tua dan guru.
2.      Perbedaan Harapan, Orientasi Prestasi dan Aspirasi
Harapan keuarga, sekolah, dan teman sebaya tidak mendorong orientasi, prestasi tinggi dan kemandirian diri pada anak perempuan. Tekanan-tekanan ini dapat mengalahkan perempuan ke aspirasi yang rendah, yang sebaliknya mengakibatkan prestasi dibawah taraf kemampuan.
a.      Harapan Keluarga
Aspirasi pendidikan dan karir yang tinggi dimulai didalam keluarga baik contoh peran oleh ibu maupun harapan ayah berpengaruh terhadap orientasi anak perempuan. Percontohan karir ibu memotivasi anak perempuan untuk mempunyai aspirasi pendidikan dan karir yang tinggi. Namun mengenai pilihan bidang karir ternyata tidak ada dampak dari karir ibu atau ayah terhadap pilihan karir anak perempuan. Harapan ayah terhadap anak perempuan mereka juga dapat mempengaruhi prestasi perempuan . hararapan ayah terhadap anak perempuan berdasarkan stereotip peran jenis kelamin yang dominan ternyata mempunyai dampak negative terhadap anak perempuan.
b.      Harapan Teman Sebaya
Sejak masa awal remaja dan kadang-kadang sebelumnya, teman sebaya mempunyai peranan yang kuat terhadap orientasi prestasi. Karena intelegasi dan prestasi tinggi dipandai sebagai karakteristik pria, anak perempuan mempunyai resiko dianggap tidak feminine jka mereka terlibat pada prestasi sekolah. Pada perguruan tinggi pilihan karir perempuan lebih dipengaruhi oleh teman sebaya daripada orang tua, terutama teman sebaya pria. Perempuan lebih condong untuk memilih bidang studi yang non-tradisional jika didorong oleh teman pria. Menurut Horner (1972) perempuan cenderung lebih menekan prestasi tinggi dan keberhasilan karena takut gagal sebagai perempuan. Perempuan yang mendapat dorongan karir dari teman pria mereka kurang mengalami ketakutan akan sukses ini.

c.       Harapan Sekolah 
Dari taman kanak-kanan ke atas ada kecenderungan sekolah yang menghambat orientasi prestasi perempuan beberapa penelitian menemukan perlakuan yang berbeda dari guru terhadap anak laki-laki dan perempuan di 15 taman kanak-kanak (Rimm 1985) anak laki-laki lebih banyak didorong untuk bekerja sendiri daripada anak perempuan. Guru memberi perhatian yang banyak terhadap anak laki-laki daripada terhadap anak perempuan. Konselor sekolah lebih banyak memberi saran kepada anak perempuan, bahwa mereka memerlukan waktu untuk kehidupan social mereka dan bahwa sebaiknya mereka tidak memilih studi matematika dan sains. Jadi sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, banyak guru dan konselor secara tersirat dalam tindakan mereka tidak member dorongan kepada perempuan untuk mengembangkan bakat mereka sama seperti pria.
d.      Harapan Diri
Aspirasi dan orientasi perempuan jelas berubah. Perubahan ini harus mencakup perubahan persepsi diri dan harapan diri. Jika anak perempuan hendak meningkatkan talenta dan sumbangan terhadap masyarakat, mereka harus mempunyai kepercayaan dan kebutuhan akan prestasi yang kuat, dan mereka harus membuat rencana untuk suatu pendidikan yang mantap. Penelitian menunjukan adanya empat factor penting yang tampaknya berkaitan dengan harapan diri. Dan aspirasi yang lebih rendah dari perempuan;
·         Rasa kompetisi yang lebih rendah.
·         Kecenderungan melihat seModul kegagalan pada diri sendiri dan keberhasilan pada factor eksternal.
·         Motivasi prestasi yang lebih rendah.
·         Sindroma “takut dan sukses”.
Factor tersebut saling berkaitan dan bersama-sama mengurangi kemungkinan bagi perempuan memiliki profesi yang lebih ‘menantang’.
Wanita dalam Renungan Teologis (disarikan dari Nasaruddin Umar, 2000)
            Dukungan terhadap masyarakat laki-laki dengan mengacu pada teoridan konsep ilmu social merupakan kaum perempuan dalam posisi marginal. Ungkapan phytagoras yang menyatakan bahwa “man is the measure of all things” atau dengan kata lain, laki-laki menjadi ukuran sesuatu, kenyataan masih dirasakan sampai saat ini.
            Teori structural-fungsional yang mendukung konsep pembagian kerja secara seksual, masih tetap actual meurut kajian sosiologi dalam antropologi masih kental dirasakan, kaum laki-laki memiliki otoritas yang jauh lebih kuat dibandingkan kaum perempuan. Kajian ilmu ekonomi masih mengisyaratkan bahwa produktivitas yang mampu dilakukan kaum laki-laki jauh lebih kuat, seangkan kesan kaum perempuan sebagai makhluk reproduksi juga masih terasa gaungnya sampai saat ini.
            Asumsi tentang perempuan sebagai the second creation dan the second sex dalam sajian teologi pun masih tetap dipertahankan. Kamu wanita sebagai objek juga kerap kali dirasakan dengan hadirnya beraga teknologi yang mengarahkan perempuan sebagai objek. Satu contoh sederhana adalah hadirnya alat kontrasepsi (KB) lebih banyak diciptakan dan diperuntukan kepada kaum perempuan.
            Gagasan tentang pendidikan bersperspektif  gender patut dikaji melalui pendidikan agama. Dalil untuk menolak kesetaraan gender nampaknya cukup efektif dengan hadirnya dalil-dalil agama yang dijadikan argumentasi kuat bagi sebagian kelompok. Tidak sedikit dalil agama yang dijadikan tameng untuk mempertahankan posisi perempuan di wilayah domestic. Pemahaman agaman yang mengendap dan berakar dibawah alam sadar perempuan yang berlangsung sekian lama, melahirkan seolah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan kaum laki-laki. Sebagai bahan kajian berikut ini satu cuplikan tetang wanita dari dimensi agama, turut diangkat sebagai bahan renungan dari sisi teologi.
            Dari dimensi teologis, menarik untuk disimak berkenaan dengan factor signifikan yang penyeModul perempuan tergiring dalam stereotip yang cenderung melemahkan dan menghantarkan pemahaman, bahwa kaum perempuan berada di dalam posisi “lebih rendah” dibandingkan dengan kaum laki-laki. Silsilah terciptanya Hawa yang ditunjukan untuk melengkapi hasrat dan keinginan Adam di surge yang dinyatakan dalam kitab kejadian / 2 : 18, bahwa penciptaan Hawa sebagai “ehelper suitable for him (Adam)”, memiliki konotasi bahwa hanya berfungsi sebagai pelengkap swehingga laki-laki dapat lebih leluasa mengekspresikan hasratnya melalui kehadiran kaum perempuan.pernyataan lain berkenaan dengan asal usul Hawa yang lahir berasal dari tulang rusuk Adam (Kitab Kejadian 21-23) mengakibatkan munculnya pemahaman bahwa perempuan hanya sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Implikasi dari asal usul ini mengakibatkan peranan perempuan menjadi sangat kecil dan “kurang berharga”, dan hal itu semakin menggiring perempuan pada keadaan yang lebih terpuruk lagi. Lebih jauh dinyatakn bahwa Adam terusir dari Surga diakibatkan oleh godaan kaum Hawa (Kitab Kejadian 3;12). Ilustrasi tentang adanya ‘buah khuldi’ menjadi legenda cukup dikenal dan dipahami sebagai satu kenyataan predikat lain yang melekat pada perempuan sebagai makhluk penggoda.
Lebih jauh dinyatakan pula tentang hukuman yang harus diterima oleh Hawa sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan Hawa terisrat dalam kitab Talmud (Erufin 100b), yang menyatakan bahwa secara keseluruhan kaum perempuan akan menanggung beban penderitaan, yakni ;
1.      Perempuan akan mengalami siklus menstruasi yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa.
2.      Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
3.      Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya,
4.      Perempuan akan merasa malu terhadap dirinya sendiri.
5.      Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6.      Perempuan akan merasa sakit ketika melahirkan.
7.      Perempuan tidak boleh berpologami.
8.      Perempuan masih merasakan hubungan seks lebih lama, sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9.      Perempuan sangat berhasrat untuk melakukan hubungan seks, tapi enggan menyatakannya.
10.  Perempuan lebih suka tinggal di rumah.
Implikasi terhadap Pengembangan Wanita dalam Olahraga
            Pengkajian  keberadaan kaum wanita dari sisi teologis di masa lampau tersebut, sampai saat ini masih menyisakan dampak kurang menguntungkan bagi kaum wanita khusunya dalam keterlibatannya dalam dunia olahraga yang identik dengan kaum laki-laki. Indikasi kuat semakin terasa terutama yang terjadi di Negara-negara berbasisi agama, dimana tidak kurang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat masih terasa membelenggu kebebasan kaum perempuan untuk melakukan kegiatan olahraga.
            Telaahan teologis dalam tulisan ini masih sangat sempit, dimana pengungkapan sejarah lebih banyak di fokuskan pada beberapa pernyataan dan fakta yang secara spesifik hanya mengulas tentang bergabai kendala yang dialami kaum perempuan sebagai akibat adanya konsep tentang perempuan dari kajian teologis yang menghantarkan stigma negative bagi kaum perempuan. Sementara kajian yang mengungkap tentang kedudukan dari dimensi agama lain belum ditelaah lebih mendalam, dan ini merupakan bahan renungan lain yang bisa menghantarkan tulisan lebih lengkap dan seimbang.

















MODUL 7
OLAHRAGA DAN EKONOMI
Oleh:
Alen Rismayadi

Semua orang telah mengetahui bahwa olahraga sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Namun dibalik manfaat tersebut, juga memiliki peluang bisnis yang menjajikan. Apalagi kalau kita lihat minatdan antusiame masyarakat Indonesia terhadap olahraga baik nasional maupun internasional sudah sangat tinggi.
Olahraga berfungsi sebagai media promosi dan kampanye pemasaran, baik itu menjadi ajang sasaran, pasar maupun sebagai komoditip.
Peningkatan partisipasi olaharaga hingga 25 % (angka semula 33 % dari prnduduk yang secara regular malakukan olahraga) dapat mengurangi biaya kesehatan sekitar $ 778 juta dolar atau sekitar 6,6 trilyun rupia. Fakta lain juga menunjukkan bahwa olahraga juga memiliki konstribusi yang signifikan pada upaya mengurangi pengangguran.
Olahraga Sebagai Penghasil Devisa           
            Olahrga yang telah dirancang sebagai industri modern yang berskala global, terbuktikan telah menjadi lokomotif atau multiplier effect terhadap tumbuhnya kegiatan bisnis baru,  misalnya pariwisata, tempat hiburan, perhotelan, restoran, pengembangan usaha kecil terutama makanan dan minuman. Sehingga pada akhirnya itu semua dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Penyelenggaraan Kegiatan Olahraga
            Olympiade Los Angeles merupakan olympiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi melalui sport business.
            Dalam banyak kasus memang kita jumpai bahwa Negara yang secara ekonomi maju, maka perkembangan olahraganya juga mengalami kemajuan yang sangat berarti.

Keterkaitan Olahraga dan Ekonomi
            Kalau kita menganalisis olahraga secara komprehensip maka olahraga memiliki keterkaitan dengan ekonomi. Fakultas ekonomi universitas Indonesia juga sedang mengembangkan suatu ilmu yang berkonsentrasi dalam bidang manajemen olahraga.
Strategi Manajemen Pemasaran Olahraga
            Strategi adalah pemasaran merupakan proses perencanaan dari menejer dalam membangun dan mengawasi gangguan terhadap organisasi tujuan dan sumber penghasilan serta kemungkinan kesempatan pasar.
            Dalam perencanaan strategis dari manajemen pemasaran, kita dapat membahas tugas perencanaan strategis dari setiap manejer unit bisnis. Proses ini terdiri dari delapan langkah, seperti tertera dibawah ini:
1.      Misi Bisnis
2.      Analisis Lingkungan Eksternal (Analisis Peluangan dan Ancaman)
3.      Analisis Lingkungan (Analisis Kekuatan dan Kelemahan
4.      Formulasi Tujuan
5.      Formulasi Strategi
6.       Formulasi Program
7.       Pelaksanaan
8.      Umpan Balik dan Pengendalian.








MODUL 8
OLAHRAGA DAN KELOMPOK
Oleh :
Bambang Erawan, M,Pd
( Diadaptasi dari Prof. Dr. H. Supandi )

Dalam hal ini LOY (1968) seorang sosiolog olahraga terkenal membataskan “sport” (olahraga) sebagai berikut : “… to define sport as any highly organized game requiring physical prowess”. Sedangkan game itu sendiri dibataskan sebagai berikut : “ A game we define as any form of play full competition whose autcome is determined by physical skill strategy or change employed singly or in combination”. Nampaknya pola pikir tersebut di atas itu masih relevan dipergunakan untuk menganalisis olahraga sebagai suatu kegiatan social. Yang dimaksud dengan permainan disini ialah kegiatan yang mempunyai karakteristik tertentu yang antara lain : kebebasan terbatas oleh ruang dan waktu, tidak produktif, mempunyai tatanan yang nyata dan ketat. Sedangkan pertandingan ialah suatu perjuangan untuk memperoleh keunggulan antara dua atau lebih dari dua pihak yang saling berlawanan.

Kelompok Olahraga
1.      Interaksi berdasarkan pola jaringan individu diantara beberapa atau seluruh anggota
2.      Memperjuangkan satu atau lebih tujuan bersama
3.      Perilaku dan sikap anggota kelompok tunduk pada sistem norma dan nilai
4.      Mempertahankan pola hubungan peran atau rolerelationship yang stabil
5.      Membentuk subkelompok berdasarkan jalinan daya tarik (kesenangan, keengganan)

A.    Karakteristik Kelompok
1.      Efek Sinergistik ( Synergistic effect )
Salah satu sifat kelompok yang penting ialah sinergi, prestasi total anggota kelompok secara bersama lebih besar dari pada jumlah prestasi anggota kelompok secara terpisah-pisah. Contohnya : Suatu kelompok yang anggotanya berkemampuan atau berprestasi cukup, maka prestasi secara bersama dalam kelompok dapat saja mencapai prestasi yang berskala tinggi. Tugas pelatih dalam tim olahraga ialah memadukan semua potensi asisten-asistennya dan para pemain menjadi efek total yang sinergistik.

2.      Persaingan dan Kerjasama
Salah satu persoalan yang sering menjadi topik bahasa sosiologi adalah persaingan atau sifat lain yaitu kerjasama yang harus menjadi karakteristik kelompok olahraga. Ada beberapa penelitian yang menunjukan kecenderungan bahwa kerja sama dalam kelompok meningkatkan saling pengertian dan hubungan efektif (emosional), perasaan yang lebih baik diantara sesama anggota tim. Kondisi dengan itu dapat menimbulkan keterpaduan (integration) kepaduan (cohesiveness), dan hubungan antar perorangan yang lebih akrab.

3.      Keterpautan ( Cohesiveness )
Yang dimaksud dengan keterpautan kelompok ini ialah tenaga atau kekuatan yang mendorong anggota bergabung dalam kelompok yang menahan anggota keluar dari kelompok. Sering pula pengertian keterpautan itu diartikan sebagai daya tarik kelompok. Pada dasarnya dinyatakan bahwa keterpautan itu mempunyai hubungan yang erat dan nyata dengan gejala-gejala lain dari kelompok seperti komunikasi, hubungan antar perorangan, keseragaman tindak dan sebagainya.

Kategori
Batasan
Contoh
Bebas tidak bergantung









Ketergantungan koaktif







Ketergantungan reaktif-proaktif







Ketergantungan interaktif
§  Untuk meraih sukses tidak dituntut tindakan koordinatif pada anggota-anggotanya
§  Terdapat persaingan langsung dan Nampak nyata diantara individu atau unit yang mewakili organisasi
§  Prestasinya bersifat individual yang secara langsung dan resmi diukur, diakui dan diberi hadiah

·         Tindakan perorangan itu diawali dan dikendalikan oleh faktor luar dan tidak oleh sesamanya
·         Anggota melakukan tugas yang sama dan serentak
·         Penampilan kolektif sangat berpengaruh terhadap efektifitas tim

§  Ketergantungan proaktif, seorang anggota mempunyai kuasa memulai tindakan, tetapi apabila seluruh anggota telah menyelesaikan tugasnya
§  Ketergantungan rektif, seseorang dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya setelah tugas posisi selesai

·         Setiap individu saling tergantung satu sama lainnya
·         Terjadi hubungan dua arah
·         Interaksi yang terus menerus meningkatakan kemungkinan tim meraih sukses
ü  Bowling
ü  Panahan
ü  Atletik
ü  Renang perorangan





ü  Mendayung







ü  Baseball
ü  Softball
ü  Pitcher






ü  Bola basket
ü  Hockey
ü  Sepak bola






Carron mengemukakan tiga prosedur pembinaan keterpaduan melalui peningkatan koordinasi. Secara garis besarnya dikatakan sebagai berikut :
1.      Koordinasi melalui standardisasi
2.      Koordinasi melalui perencanaan
3.      Koordinasi melalui penyesuaian

B.  Interaksi antara Pelatih dan Olahragawan
1.   Pengertian interaksi
Di bagian terdahulu telah dikemukakan tentang interaksi ini sebagai hubungan timbal balik antara dua individu. Lebih jauh juga dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antar dua atau lebih individu yang perilakunya saling bergantung.

a.    Interaksi komplimeter
Schutz adalah tokoh yang beranggapan bahwa manusia mempunyai berbagai kebutuhan. Namun kebutuhan pokoknya adalah orang butuh orang. Kebutuhan perseorangan, dapat dipenuhi melalui prilaku inklusi (inclusion) pengendalian (control) dan afeksi (affection). Inklusi adalah segala perbuatan berhubungan dengan hubungan, komunikasi, dan kemitraan.

b.   Interaksi Sistemik
Teori Getzel dan Guba (1957) yang menyatakan bahwa perilaku social adalah interaksi antara dua dimensi organisasi yaitu nomotetik dan ideografik Nomotetik adalah dimensi organisasi yang menciptakan lembaga, peranan dan persyaratan terhadap individu yang memegang peranan-peranan yang telah diciptakan. Perilaku yang ideal adalah perilaku yang efektif sebagai anggota lembaga dan diri pribadi adalah interaksi yang saling memberi dan menerima antara individu dan lembaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar